Jakarta (ANTARA News) - Komisi VII DPR meminta Wakil Presiden Boediono supaya tak ragu-ragu memutuskan proyek pengembangan gas Senoro di Sulawesi Tengah (Sulsel).

Wakil Ketua Komisi VII DPR Ahmad Farial di Jakarta, Minggu, mengatakan, seharusnya proyek gas Senoro sudah berjalan sejak dua tahun lalu.

"Kenapa sampai sekarang belum juga diputuskan," kata politisi senior dari Fraksi PPP itu.

Menurut Ahmad Farial , saat ini proyek tinggal menunggu keputusan Wapres Boediono.

"Wapres tidak perlu ragu. Semua pihak sudah memberikan dukungan agar Senoro segera diputuskan. Komisi VII DPR sudah memberi dukungan," katanya.

Selanjutnya, Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri ESDM Darwin Saleh selaku pejabat teknis juga sudah memberikan rekomendasi ke Boediono.

Belum lagi, lanjutnya, Pemda dan DPRD Sulawei Tengah yang juga ingin segera proyek terealisasi agar memberi manfaat bagi daerah.

Selain itu, investor nasional yakni PT Pertamina (Persero) dan PT Medco EP Indonesia, Mitsubishi dan calon pembeli dari Jepang juga sudah menanti kepastian proyek.

"Mau tunggu apa lagi. Atau, Wapres punya rencana lain, sehingga mengabaikan rekomendasi dan dukungan tersebut," kata Farial.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa dalam suratnya No S-36/M.EKON/03/2010 kepada Wapres Boediono tertanggal 8 Maret 2010 setuju dengan saran Menteri ESDM Darwin Saleh yakni pengembangan gas Senoro menggunakan opsi kombinasi ekspor gas alam cair (LNG) dan domestik buat pupuk dan pembangkit.

Opsi tersebut, lanjut Hatta dalam suratnya, sudah didukung hasil kajian independen Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri

Institut Teknologi Bandung (LAPI ITB) sesuai arahan Wapres.

Dalam kajiannya, LAPI ITB menyarankan, gas Senoro dikembangkan dengan skenario kombinasi yakni ekspor LNG sebesar 335 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dan pemakaian dalam negeri bagi PT Pusri 60 MMSCFD dan PT PLN 30 MMSCFD.

Sebelumnya, Menteri ESDM Darwin Saleh dalam surat bernomor 1227/13/MEM.M/2010 kepada Menko Perekonomian Hatta Rajasa tertanggal 25 Fabruari 2010 menyatakan, skenario terbaik pengembangan Senoro adalah kombinasi ekspor dan pemenuhan kebutuhan domestik.

Surat Darwin juga menyebutkan, volume ekspor gas Senoro sebesar 335 MMSCFD dapat diganti dari Blok Mahakam 225 MMSCFD dan pengalihan kontrak Sempra dari Tangguh sebesar 105 MMSCFD.

Selanjutnya, proyek terminal LNG di Sumatera Utara dan Jawa Barat dapat memanfaatkan pasokan Mahakam dan Tangguh tersebut.

Darwin dalam suratnya juga mengatakan, proyek Senoro telah melalui proses tender dengan mempertimbangkan kemampuan perusahaan, harga, dan kualitas penawaran.

Selain itu, biaya pembangunan kilang tidak masuk komponen cost recovery, sehingga tidak membebani negara.

Biaya "engineering, procurement, and construction" (EPC) kilang sebesar 850 dolar AS per ton sudah sesuai harga pasar saat ini.

Solusi terbaik

Hal senada dikemukakan Anggota Komisi VII DPR Dito Ganinduto dari Fraksi Partai Golkar.

Dito Ganinduto menyebutkan Wapres Boediono harus segera memutuskan karena proyek Senoro merupakan pertama kalinya pihak nasional yang diwakili Pertamina dan Medco mengerjakan proyek LNG.

"Selama ini, baik proyek LNG di Arun, Bontang, hingga Tangguh dan nantinya Masela dikerjakan pihak asing," ujarnya.

Menurut dia, kombinasi ekspor LNG dan domestik merupakan solusi terbaik.

"Kalau seluruhnya buat domestik, juga tidak memungkinkan, sebab tidak mencapai keekonomian proyek," katanya.

Ia menambahkan, porsi sebesar 90 MMSCFD buat domestik sudah cukup memadai, selain juga telah memenuhi kewajiban pasok ke domestik (domestic market obligation/DMO) minimal 25 persen.

Dua anggota Komisi VII DPR yakni Sutan Bhatoegana dari Fraksi Partai Domokrat dan M Romahurmuziy dari Fraksi PPP juga mendesak Wapres segera memutuskan proyek Senoro.

"Wapres tidak perlu tersandera dengan kasus politik. Beliau harus fokus meningkatkan ekonomi dan investasi," kata Rommy, panggilan akrab Romahurmuziy.

Apalagi, lanjutnya, pemerintahan baru yang terbentuk sejak tahun lalu belum mengeluarkan keputusan strategis terkait investasi migas.

Menurut dia, proyek Senoro sudah memenuhi kewajiban pasokan ke domestik sesuai dengan UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Meski, sebenarnya proyek itu tidak harus mengikuti UU Migas, karena sudah ditandatangani sebelum UU berlaku.

Sedangkan Sutan mengatakan, pemerintah harus segera merealisasikan proyek Senoro agar tidak kehilangan momentum.

Menurut dia, saat ini, Australia, Qatar, dan Papua Nugini (PNG) sedang gencar-gencarnya menawarkan gas ke negara Jepang dan Korea Selatan yang juga merupakan pasar Senoro.

Ia juga menambahkan, pemerintah hendaknya menghormati kontrak LNG Senoro ke Jepang yang sudah ditandatangani.

"Kita harus hormati kontrak yang ada, agar tidak cacat di mata internasional," ujarnya.

Rommy menambahkan, semakin lama proyek ditunda, maka akan semakin merugikan proyek yang sudah terkatung-katung selama 28 tahun.

"Apalagi, investor sudah mengeluarkan biaya survai hingga 100 juta dolar AS," katanya.
(T.K007/H-CS/P003)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010