Jakarta (ANTARA News) - Sekitar tiga tahun lalu, tepatnya Agustus 2007, IJEPA (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement) ditandatangani oleh Shinzo Abe selaku Perdana Menteri (PM) Jepang dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Republik Indonesia.

Kesepakatan kemitraan yang ditandatangani kepala pemerintahan kedua negara tersebut berlangsung di Jakarta dalam rangka peringatan 50 tahun hubungan ekonomi Jepang-Indonesia. Dokumen tersebut setelah mengalami berbagai rincian yang lebih up-to date lengkap, termasuk ketentuan mengenai DNI (Daftar Negatif Investasi) yang diselaraskan pemahaman oleh para negosiator Jepang dengan pihak Indonesia.

Ratifikasi EPA tersebut berlangsung pada Juli 2008, dan Jepang bersama Indonesia mencoba menyelaraskan serangkaian langkah implementasinya. Unsur-unsur utama dalam kemitraan ekonomi (Economic Partnership Agreement) yang disepakati Jepang dan Indonesia, terdiri atas:
1. Perdagangan dalam barang : ketentuan tariff, non-tarif, ketentuan asal (trade in goods: tariffs and non-tariff measures, rules of origin trade remedies),
2. perdagangan dalam jasa (trade in services),
3. prosedur bea cukai (customs procedure),
4. penanaman modal (investment),
5. fasilitasi bergeraknya sumber daya manusia (movement of natural persons),
6. sumber daya energi dan mineral (energy and mineral resources),
7. hak cipta (intelectual property right),
8. prosedur pembelian oleh pemerintah (government procurement)
9. persaingan (competition),
10.perbaikan dalam lingkungan bisnis dan promosi kepercayaan bisnis (improvement of business environment and promotion of business confidence),
11. kerjasama (cooperation).

Dengan menengok kebelakang, EPA sudah tujuh tahun lalu diusulkan Jepang untuk ditelaah oleh pihak Indonesia. Dalam dokumen METI Jepang (Desember 2002) dijelaskan juga gagasan daerah pasar bebas (Free Trade Area/FTA) dengan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) seiring dengan upaya mewujudkan jaringan kerja FTA satu per satu (one on one) dengan negara anggota ASEAN dalam kerangka EPA (Economic Partnership Agreement).

Tujuh tahun lalu, atas undangan khusus pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). berbagai pihak menghadiri diskusi dengan Prof. Yoshino Fumio, dari Institute of World Affairs, Takushoku University dalam “FTA in East Asia: A Japanese Perspective” ( 30 Juni 2003), di LIPI Jakarta. Dalam sesi ini penulis sebagai pengamat/dosen diminta untuk bertindak sebagai moderator.

Diuraikannya gagasan Jepang tentang EPA yang didalamnya FTA (Free Trade Agreement) dengan ASEAN dan juga FTA dengan masing-masing negara anggota ASEAN. Sangat disayangkan kemudian pihak pembuat kebijakan ekonomi dan pelaku bisnis yang banyak berinteraksi dengan Jepang tidak terlalu responsif.

Pihak pembuat kebijakan Jepang dan kalangan akademisinya memahami bahwa FTA merupakan kesepakatan bersama untuk menghapus hambatan perdagangan antar-mereka. Negara manapun yang masuk dalam kawasan perdagangan dapat dan memelihara kebijakan perdagangan secara independen terhadap negara ketiga.

Salah satu syaratanya adalah suatu sistem sertifikasi asli (system of certificates of origin) diberlakukan untuk menghindari terjadinya peralihan perdagangan (trade diversion) demi perolehan maslahat tarif yang rendah dari negara anggota. Dampak ekonomi dari FTA dapat dibagi dalam dampak statis dan dampak dinamis. Dalam dampak statis tercakup dampak penurunan tarif standar atas efisiensi alokasi sumber daya, dan dampak dinamis, di mana produktivitas yang lebih tinggi dan akumulasi modal berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Belakangan ini argumentasi politik ekonomi yang mencakup perilaku kepentingan kelompok ikut berperan dalam pembentukan FTA.

Tujuan FTA adalah membentuk sekaligus memperlancar perdagangan dan investasi dengan mencapai persetujuan dengan mitra dagang dan investasi secara cepat maupun mantap karena serangkaian alasan yang tidak terbatas pada kedekatan secara geografis. Hal-hal yang hendak digarap adalah kesertaan dalam pasar domestik oleh dana dana luar (foreign funds) para manajer dan teknisi, yang pada gilirannya menstimulasi perekonomian domestik kedua belah pihak.

Hal yang dimaksud dengan dampak statis adalah penciptaan perdagangan dan mengurangi pembelokan (diversion). Eliminasi hambatan perdagangan antara pihak pihak yang mengadakan persetujuan FTA merubah harga barang barang dan jasa yang diperdagangkan, yang pada gilirannya berpengaruh pada volume perdagngan dan kesejahteraan ekonomi kedua negara

Dalam kasus peniadaan (removal) hambatan perdagangan berarti perluasan perdagangan yang biasanya dilakukan antara para pihak yang bersangkutan, menggerakkan konsumen dalam negara yang mengimpor barang dan jasa secara lebih murah , dan di pihak produsen negara pengekspor mempeorleh laba sebagai hasil ekspor yang lebih besar, dan secara teoretik kedua kemakmuran kedua negara FTA makin membaik (improving the economic welfare).

Sebaliknya, hendaknya pihak Indonesia tidak lupa bahwa peniadaan hambatan sebagai akibat FTA tidak serta merta membawa maslahat bagi negeri ini. Dampak FTA juga pada pertumbuhan ekonomi kedua belah pihak melalui tahapan peningkatan produktivitas yang mencakup perluasan pasar, peningkatan daya saing, alih teknologi disertai inovasi teknologi.

Untuk lebih mengaktualisasi EPA itu dalam sikap pandang METI Jepang strateginya adalah memberi manfaat pada perekonomian Jepang secara keseluruhan : menghasilkan manfaat ekonomi yang signifikan, menghindari kondisi yang merugikan (disadvantageous) dan menggerakkan reformasi structural.

Ketika pihak Jepang dengan gencar mempromosikan gagasan EPA terungkap salah satu sasaran utama adalah dalam kaitannya dengan Asia Timur. Premise yang disadari dan pahami adalah bahwa Asia Timur makin cepat memperoleh/menikmati keberadaan ekonomi dan makin mendalamnya interdependensi ekonomi. Secara lebih eksplisit fokus nya adalah pada pemanfaatan elemen elemen pertumbuhan Asia Timur untuk lebih nyata merevitalisasi ekonomi Jepang serta menyadari potensi pembangunan ekonomi Asia Timur dalam waktu mendatang.

Ratifikasi IJEPA sudah ditandatangani dua tahun lalu. Kini saatnya bagi pihak pebisnis yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan birokrasi kita terutama generasi penerus hubungan itu, meningkatkan mutu profesionalisme yang tidak mudah quick fix dalam rangka implementasi EPA, agar memperoleh maslahat yang seimbang. (*)

*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah Pengamat Ekonomi/Bisnis Jepang; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta.

Oleh Oleh Bob Widyahartono *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010