Jakarta (ANTARA News) - Buussyeeet..., gara-gara terdera bara curiga bahwa sang suami bermain serong dengan perempuan lain, seorang istri di Adelaide, Australia begitu tega membakar kemaluan suaminya pada Desember 2008.

Rajini Narayan (44) tampak gemas melihat ulah sang Pangeran Hati, kemudian ditempuhlah "eksekusi" itu. Ujung-ujungnya, selingkuh berakhir aksi bakar.

Weleh, weleh..., publik pembaca kontan bereaksi dalam media massa setempat. "Saya tidak dapat membayangkan kasus itu sampai terjadi. Jika ingin membakar kemaluan, bakar milikmu sendiri," tulis seseorang berinisial "kingmonkey in Athens, Ontario" lewat laman Adelaide.com.

"Hidup itu indah. Sesekali selingkuh, oke juga," tulis seseorang bernama Merlin Las Cruces. "Apa jadinya dengan komentar pacar saya...," tulis D F Stuckey in Auckland, Selandia Baru. "Peristiwa itu mengingatkan saya dengan peristiwa Lorena Bobbitt beberapa tahun lalu," tulis Patty di Ohio, Amerika Serikat.

Aksi Narayan memantik berbagai reaksi, sampai-sampai mengungkit dan mengutip ketegaan Lorena Bobbitt yang memotong kemaluan John Wayne Bobbitt. Dunia terkesima setelah membaca kisah Lorena itu, bahkan melabelnya sebagai "Bobbittmania".

Bermunculanlah berbagai aksi keprihatinan, dari yang berbalut pertimbangan etis dan pertimbangan kultural sampai komersialisasi, dari penjualan T-shirt sampai olok-olok di kalangan pria dan perempuan.

Pada Juni 2008, dalam program berita di jaringan televisi CBS, Lorena berbicara pengalaman hidupnya setelah insiden "potong" itu. Pada April 2009, dalam program Oprah Winfrey, Lorena mengatakan tidak akan mengulang dan mengingat aksi itu lagi.

Lorena mengaku masih mencintai John dengan mengirim sejumlah kartu Valentin dan bunga-bunga. Sontak, kasus itu memunculkan diskusi etika seputar kekerasan dalam hidup perkawinan. Para pejuang feminis berbondong-bondong membela tindakan Lorena dengan mengutip argumen bahwa tindakan Lorena diambil karena pertimbangan membela diri meski dengan menempuh cara relatif kejam.

Bagaimana memaknai aksi bakar Rajini dan aksi potong Lorena dalam cahaya filsafat tubuh? Filsuf Gabriel Marcel memampatkan pertanyaan itu dengan mengajukan pertanyaan mendasar, apakah manusia "mempunyai" tubuh atau manusia "adalah" tubuh? Mempunyai kemaluan mengandaikan ada seorang pemilik, yang dapat menyebut bahwa kemaluannya sebagai "miliknya".

Nah, kalau manusia adalah tubuh, maka publik dapat berbicara mengenai hal-hal yang bersifat "harus ada". Padahal, soal kebertubuhan bukan melulu "mempunyai", sebab tanpa tubuh, tidak ada manusia. Dengan kata lain, manusia adalah tubuh dan mempunyai tubuh.

Pertanyaan provokatif selanjutnya, apa beda bersetubuh dengan bersebadan? Kegiatan seksual tidak dapat berlangsung tanpa keikutsertaan pikiran. Karena itu, bersetubuh melibatkan keseluruhan aspek jiwa dan rohani, sementara bersebadan mengabaikan aspek rohani. Bersetubuh hanya untuk manusia, bersebadan untuk hewan.

Bagaimana suami Rajini dapat mengatakan "saya memiliki tubuh, bila kemaluannya dibakar?" Bagaimana suami Lorena dapat menyatakan, "saya memiliki tubuh, bila kemaluannya dipotong?" Sang suami yang malang itu beroleh jawaban, keduanya kehilangan tubuh dan kehilangan hidup yang bermakna.

Dalam pembacaan filsuf Merleau-Ponty, staf pengajar STF Drijarkara, F Budi Hardiman menyatakan filsuf Perancis itu menyebut manusia sebagai keterbukaan atau sebagai kemungkinan akan kehidupan yang bermakna. Melalui tubuhnya, manusia memberi makna bagi dunianya.

Menurut Hardiman, melalui tubuh, "aku" mengungkapkan eksistensiku, karena aku dikenal sebagai pribadi melalui tubuhku. Tubuhku mengekspresikan aku. Sebaliknya, tubuhku itu kuekspresikan.

Ingat saja akan orang yang saling mencintai yang tidak pernah kehabisan kata-kata untuk disampaikan kepada pujaan hatinya nun jauh di sana. Meski dua sejoli cukup berucap, "Selamat pagi, apa kabar hari ini? Besok aku kirim mawar merah, bukan mawar kuning. Hehehe...."

Nanti dulu, jangan dulu membuncah, jangan dulu sumringah, karena orang dapat mempunyai dan memakai tubuhnya untuk menyembunyikan diri atau memainkan senyum demi kepura-puraan. Dengan tubuh, seseorang dapat memakai topeng, menggunakan kedok.

Yang lahiriah boleh jadi berbeda dengan yang batiniah. Pengungkapan melalui tubuh dapat merupakan upaya pengelabuan dan pembohongan bagi orang lain. Kalau saja akrobatik seputar tubuh dibongkar, maka yang tersisa "penelanjangan diri".

Siapa yang mengeksploitasi tubuh demi kebohongan dan demi pengelabuan, bayarannya kontan saja, yakni mempermalukan diri sendiri di hadapan sesama manusia. Ini warta dehumanisasi.

Di Pengadilan Tinggi Australia Selatan, Rajini Narayan (44) mengatakan, "Saya hanya ingin membakar penisnya, sehingga itu menjadi milik saya dan bukan milik orang lain".
(A024/B010)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010