Jakarta (ANTARA News) - Menyambut Hari Kartini  21 April, ada baiknya dilakukan kritik terhadap cara media melaporkan korban pemerkosaan yang sangat “merugikan”  kaum perempuan dan cenderung  “memaafkan” laki-laki pelakunya.

Pemberitaan media mengenai perempuan, terutama dalam kasus pemerkosaan, memberikan perhatian berlebihan pada penyebab terjadinya kasus tersebut. Media cenderung mengungkap mengapa si korban diperkosa ketimbang hukuman apa yang pantas untuk pelakunya.

Presiden NBC News Michael Gartner mengatakan, pemerkosaan adalah sebuah bentuk kejahatan dimana masyarakat dan media masih cenderung menyalahkan korban.

Pretty Co-ed Syndrome
, yang memosisikan perempuan sebagai pihak yang dipersalahkan dalam kasus pemerkosaan, terus menjadi praktik-praktik media yang bersifat jender dan stereotipe.

Pemberitaan di koran yang menyebutkan korban pemerkosaan sebagai, misalnya, “cantik” atau “seksi”,  secara tidak langsung menyatakan bahwa perempuan itu pantas untuk diperkosa.

Media di Indonesia sering  menggambarkan korban pemerkosaan sebagai genit, penggoda, lemah dan dungu, dan sepantasnya mendapat perlakuan itu.

Namun si pemerkosa, karena dia adalah laki-laki, cenderung diberi toleransi dengan mengatakan bahwa mereka melakukan perundungan seksual tersebut karena mereka sedang khilaf, kesetanan, atau tak mampu menahan nafsu birahinya.

Cara media menggambarkan korban pemerkosaan menunjukkan bagaimana bahasa dan tulisan telah menjadi alat untuk melecehkan perempuan melalui media.

Perempuan korban pemerkosaan seringkali mengalami pelecehan oleh petugas kepolisian yang secara tidak langsung mengatakan bahwa mereka mengundang tindak pemerkosaan melalui tingkah  laku mereka, penampilan fisik atau cara berpakaian.

Laporan media juga memberikan asumsi serupa, sebagai contoh: “Empat laki-laki memerkosa seorang perempuan cantik di kebun” (Harian X) dan “Parfum perempuan itu membangkitkan nafsu birahi si pemerkosa” (Tabloid Y).

Jadi, “kecantikan” dan “parfum perempuan” yang dipersalahkan oleh media yang bersangkutan dan bukannya kebrutalan dan moralitas rendah lelaki, si pemerkosa!

Ini menguatkan hasil penelitian Robinson dan Bessell (2002) bahwa dalam melaporkan kasus pemerkosaan, perempuan korban pemerkosaan diperkosa lagi untuk kedua kalinya oleh media (second rape by the media).

Rasa malu yang ditanggung korban menjadi semakin parah karena media menyebutkan identitas korban. Mereka diberi cap oleh media dengan Scarlet R: Mereka telah diperkosa.

Seks sebagai senjata

Helen Benedict dalam Virgin or Vamp: How the Press Covers Sex and Crimes (1992) menuliskan bahwa pemerkosaan lebih tepat dikatakan sebagai penyiksaan yang menggunakan seks sebagai senjata.

“Seperti seorang pelaku penyiksaan, pemerkosa menggunakan tindakan seksual untuk mendominasi, mempermalukan, dan meneror korban,” tulis Benedict.

Dengan tulisan yang bernada jender dan stereotipe, media menggunakan bahasa dan tulisan untuk melecehkan, mempermalukan, dan meneror korban. Dengan mengatasnamakan kewajiban jurnalis untuk memenuhi prinsip 5W + 1 H serta memenuhi “hak rakyat untuk tahu”, media membeberkan nama dan identitas korban pemerkosaan.

Dengan demikian, korban diperkosa lagi oleh media. Itulah sebabnya kenapa perempuan enggan melaporkan kasus perundungan seksual, termasuk pemerkosaan. Korban menghadapi hambatan untuk memperoleh keadilan karena polisi seringkali tidak memercayai perempuan, terutama jika si lelaki bukan orang asing.

Mereka terkadang menduga bahwa korban haus seks dan bahwa ceritanya adalah angan-angannya belaka. Terlebih lagi, beberapa di antaranya memaksa korban untuk menceritakan aksi penyerangan seksual tersebut dengan sangat rinci sehingga tampak seolah-olak korban menikmati aksi tersebut (Cuklanz, 2000).

Polisi semakin melecehkan korban lebih jauh dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, ”Kamu menikmatinya, benarkah?” Ketakutan diberi stigma dan diekspos oleh media secara signifikan memengaruhi perempuan dalam mengambil keputusan apakah akan melaporkan kasus perkosaan yang dialaminya atau tidak.

Tak heran, di Indonesia tidak ada data statistik yang pasti mengenai kasus pemerkosaan. Para ahli memperkirakan banyak kekerasan seksual dan kasus pemerkosaan terhadap perempuan yang tidak terekspos dan tetap menjadi data gelap.  

Statistik menyebutkan setiap tahun jumlah kasus pemerkosaan di Indonesia mencapai antara 1.500 hingga 2.000 kasus.

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Haigh A Bosmajian mengatakan bahwa bahasa bukan hanya instrumen atau alat komunikasi. Bahasa adalah aktivitas terkonstruksi dalam kelompok masyarakat tertentu.

Dalam “The Language of Oppression”, Bosmajian menuliskan bahwa bahasa memainkan peran penting dalam merepresentasikan perempuan sebagai warga kelas dua, karena perempuan adalah jenis kelamin kedua.

Media harus mempunyai kepekaan jender dalam memilih bahasa dan tulisan untuk digunakan dalam menulis dan menerbitkan laporan tentang perundungan seksual terhadap perempuan dan kasus pemerkosaan.

Sudah saatnya media berhenti menjadi pemerkosa kedua. Berhenti menyalahkan perempuan karena menjadi faktor pemicu kasus pemerkosaan. Bukan tingkah laku perempuan, bukan pula kecantikan serta cara berpakaian perempuan yang menjadi penyebab terjadinya pemerkosaan.

Namun, ini murni kekerasan, kriminal dan perundungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki brutal dan tak bermoral.

Sudah saatnya media merahasiakan nama-nama korban pemerkosaan untuk melindungi mereka. Lebih baik bagi mereka untuk merenungkan peristiwa memalukan tersebut tanpa kebisingan.

Menyangkal peran pelecehan seksual dalam kasus pemerkosaan berarti juga menyangkal korban atas mimpi buruk yang telah mereka alami. Selama masyarakat mempunyai rasa privasi tentang aksi seksual dan juga tubuh manusia, pemerkosaan akan memberikan stigma, bukan hanya stigma yang menyalahkan korban atas apa yang terjadi padanya, namun juga stigma yang terus melekatkan namanya dengan sebuah aksi pelecehan.

Seperti disebutkan oleh Helen Benedict dalam bukunya, “Menyebutkan nama korban pemerkosaan berarti menjamin bahwa setiap orang mendengar namanya disebut, mereka akan menggambarkannya dalam aksi kekerasan seksual itu. Mengekspos korban perkosaan tanpa persetujuannya sama saja dengan menghukumnya.  Sejatinya, itu adalah pemerkosaan kedua”.

Toleran terhadap laki-laki

Kritik perlu disampaikan mengenai  bagaimana media melaporkan korban pemerkosaan terutama adalah dalam penggunaan kata-kata dan bahasa oleh jurnalis yang melecehkan perempuan namun selalu toleran terhadap laki-laki si pemerkosa.

Perlu juga dikritik tindakan media yang menyebutkan nama dan identitas korban yang selayaknya dirahasiakan untuk melindungi mereka. Dengan menyebutkan nama korban pemerkosaan, sekali lagi, media telah mencap korban dengan Scarlet R (Mereka telah diperkosa).

Terry Eagleton mengatakan, bahasa adalah kekuatan, senjata untuk konflik dan berjuang sama halnya untuk medium, racun juga obatnya, jeruji penjara juga kemungkinan jalan keluar”.

John Stephen dalam Language and Ideology (1992) mengatakan bahasa adalah tempat khusus bagi efek ideologis, dengan kapasitas yang berpotensi sangat kuat untuk membentuk sikap audiens.

Betapa kuatnya bahasa untuk membentuk pemahaman masyarakat. Jika bahasa adalah kekuatan, media seharusnya menggunakannya sebagai obat bagi para korban dan bukan racun untuk melakukan “pemerkosaan kedua”.

Jika bahasa adalah kekuatan, media harus menggunakan kekuatan itu untuk mencari jalan keluar.  Media perlu meningkatkan cara pelaporan jurnalis dalam kasus pemerkosaan, termasuk menemukan jalan untuk menghadapi stigma yang ditempelkan pada korban pelecehan seksual.

Dengan tidak mengesampingkan pertimbangan apakah akan menyebut atau tidak nama korban, peraturan dasarnya adalah media seharusnya merahasiakan identitas korban selamat untuk melindungi mereka. Tapi juga media bisa juga memberikan pilihan bagi korban untuk disebutkan identitasnya. Jika mereka mau berbicara, silakan.

Jika mereka mau menceritakan kisah mereka sendiri –tentang kemenangan dan pertahanan diri—media juga harus mengapresiasinya. Namun, seperti telah disebutkan Benedict, “mengekspos korban pemerkosaan di media tanpa sepengetahuannya sama saja dengan menghukum dia”.  (***)

Oleh Oleh Akhmad Kusaeni
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010