Jakarta (ANTARA) - Sejumlah anak muda bersikap dan sepakat melindungi hutan Papua yang merupakan benteng terakhir Indonesia untuk dapat menghadapi krisis iklim yang sedang terjadi.

“Saya tidak setuju sawit, karena hutan bagi orang Papua adalah mama. Orang Papua tidak butuh sawit. Bukan menolak, tapi orang Papua hidup dan tidur dalam hutan,” kata mahasiswa Universitas Cenderawasih Marcel Gibrael Mauri dalam webinar "Kebijakan Iklim Indonesia dan Papua dalam Perspektif Keadilan Antargenerasi" yang digelar Walhi Papua dan diakses dari Jakarta, Sabtu.

Orang Papua bisa hidup tanpa emas, tapi bisa mati tanpa hutannya, kata Marcel menanggapi pemberitaan yang sedang hangat jadi pembahasan bertajuk “Papua: Investigasi ungkap perusahaan Korsel 'sengaja' membakar lahan untuk perluasan lahan sawit”.

Pendiri komunitas Rumah Bakau Jayapura Abdel Gamel Naser yang mengikuti diskusi dalam webinar menyatakan setuju dengan pemikiran anak-anak muda lainnya dengan Kesepakatan Paris, bahwa Bumi tidak sedang baik-baik saja, sehingga harus ada upaya dan langkah konkrit untuk mengatasi krisis iklim.

“Anak-anak muda jangan diam, harus bergerak menggunakan ruangnya. Saya kira Marcel memberi contoh yang baik untuk anak-anak muda lain di Jayapura, dengan aksi Climate Strike yang sudah dilakukan sejak 2018,” ujar Gamel menanggapi Climate Strike dan aksi “memulung sampah” yang dilakukan Marcel dan temen-temannya dalam upaya mengatasi krisis iklim di Papua.

Gamel mengajak anak-anak muda di Papua, termasuk para mahasiswa ikut mengawal komitmen pemerintah untuk menjalankan Kesepakatan Paris.

Ia mengatakan perubahan iklim itu nyata, sehingga anak-anak muda tidak bisa hanya diam dan menunggu, karena iklim di Indonesia, termasuk di Papua, juga sudah berubah.

“Saya juga meyakini Papua benteng terakhir iklim di Indonesia. Kita tidak usah bicara Kalimantan atau Sumatera yang sudah penuh dengan sawit. Mari kita jaga Papua,” ujar Gamel.

Sementara itu, salah satu tim penulis kajian kebijakan iklim yang aktif sebagai climate ranger Novita Indri mengatakan antusias dan semangat teman-teman muda di jejaring climate strike di dunia sama, ingin memastikan komitmen pemerintah untuk Kesepakatan Paris berjalan dalam menghadapi krisis iklim.

Dengan mengacu pada laporan Intergovernmental Pannel for Climate Change (IPCC) 2018, Novita mengatakan krisis iklim sudah terjadi, termasuk di Indonesia, namun belum semua menyadarinya. Pertama, ancaman pulau tenggelam akibat kenaikan muka air laut setelah es di kutub mencair, dan diperkirakan kenaikannya mencapai 0,4 meter per tahun di 2100.

Kedua, kenaikan suhu tidak saja merusak ekosistem, namun sudah menjadi disrupsi bagi semua untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Bencana hidrometeorologi dampak kenaikan suhu Bumi yang memicu krisis iklim menjadi ancaman kebutuhan dasar manusia.

Ketiga, dampak yang timbul tidak saja merugikan secara material, tapi juga melebarkan kesenjangan dan ketidaksetaraan antara si miskin dan kaya yang memperbesar kemungkinan konflik sosial di masyarakat.

“Masih ada waktu dengan membuat target yang sejalan dengan maksud Paris Agreement. Lagi pula Indonesia juga telah menjamin hak generasi yang akan datang atas kehidupan yang layak dan manusiawi,” ujar dia.

Terkait hutan di Papua, menurut dia, itu menjadi harapan terakhir bagi Indonesia karena di Sumatera dan Kalimantan sudah banyak beralih untuk sawit dan tambang. Sementara suara perlindungan untuk hutan Papua belum banyak terangkat.

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020