Jakarta (ANTARA news) - Pengamat ekonomi Faisal Basri dan pengamat migas A Qoyum Tjandranegara mengingatkan agar pemerintah lebih memprioritaskan pemanfaatan gas untuk memenuhi kebutuhan gas dalam negeri dibanding mengekspornya karena lebih banyak memberikan manfaat bagi Indonesia.

"Ini masalah kedaulatan energi," kata Faisal saat berbicara dalam diskusi terbatas bertema "Pemanfaatan Alokasi Gas Domestik untuk Ketahanan Energi", di Jakarta, Sabtu.

Faisal mengatakan Indonesia menjual gasnya dengan harga murah namun membeli bahan bakar lain dengan harga yang lebih tinggi. Hal itu, katanya, tindakan yang tidak masuk akal.

Ia mengatakan mengekspor gas memang memperoleh devisa. Namun mengimpor bahan bakar minyak memerlukan biaya yang lebih tinggi lagi sehingga neraca perdagangan justeru rugi.

"Belum lagi jika gas tersebut diolah di dalam negeri maka akan memberikan nilai tambah yang tinggi. Anak SD saja bisa menghitungnya," kata Faisal.

Menurut dia, tidak ada negara yang menjual sumberdaya alamnya jika tidak melimpah. "China tidak menjualnya (jika sumber dayanya yang terbatas), juga Amerika Serikat. Beda dengan Arab Saudi dan Irak yang hasil minyaknya melimpah dan penduduknya sedikit," katanya.

Pengamat migas A Qoyum Tjandranegara mengatakan sebagai negara yang mempunyai sumber bahan bakar gas bumi yang cukup, sudah selayaknya sumber energi ini dimanfaatkan secara optimal di dalam negeri dan tidak lagi diorientasikan untuk ekspor.

"Optimalisasi gas di dalam negeri dapat mengurangi subsidi BBM dan beban keuangan negara. Singkatnya, ekspor gas berarti memberikan energi murah, sekitar 50-55 persen harga BBM, yang lebih efisien dan ramah lingkungan kepada negara lain, lalu memaksa Indonesia mengimpor energi yang lebih mahal, kurang efisien dan lebih polutif," katanya.

Ia juga menyesalkan jika produksi gas dari blok Donggi-Senoro di Sulawesi Tengah jadi diekspor. "Tidak ada untungnya. Batalkan saja. Apa susahnya (membatalkan)?" sarannya.

Qoyum mengatakan Perusahaan Gas Negara akan sanggup mengambil kontrak gas di blok tersebut. Jika tidak sanggup, pemerintah harus memberikan instruksi kepada PGN untuk melakukannya.

Jika perlu, tambahnya, kasus itu dibawa ke arbitrase internasional. Ia mengharapkan paling tidak ada penurunan jumlah yang diekspor atau ada kenaikan harga gas.

Sebelumnya, mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla juga mengingatkan produksi gas blok Donggi-Senoro sebaiknya tidak diekspor namun tetap diperuntukkan memenuhi kebutuhan dalam negeri karena keuntungannya tiga kali lipat dibandingkan diekspor.

(T.U002/M016/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010