14 sampai 18 hari setelah injeksi dosis pertama vaksin, 33 persen pasien yang sudah divaksinasi itu tak lagi bisa terinfeksi COVID-19
Jakarta (ANTARA) - Rumah sakit-rumah sakit di seluruh dunia kembali dibanjiri pasien COVID-19. Ambulans antre masuk fasilitas-fasilitas khusus perawatan COVID-19 di mana-mana, dari Jakarta sampai London, hingga Los Angeles.

Tetapi berbeda dari sewaktu gelombang pertama infeksi virus corona menerjang dunia, banjir pasien COVID-19 kali ini terjadi bersamaan dengan sudah hadirnya vaksin.

Dan di tengah gelombang ketiga pandemi dan tak kunjung terjinakkannya COVID-19 membuat dunia kian berharap kepada vaksin. Pertanyaannya, seberapa cepat vaksin bisa mengalahkan pandemi?

Baca juga: Fadjroel: Vaksinasi kedua bergulir di seluruh Indonesia

Ada dua cara vaksin bisa menekan tingkat kematian dan tingkat rawat inap rumah sakit. Pertama, vaksin melindungi langsung orang yang divaksin dengan membuatnya tidak bisa lagi tertular. Kedua, vaksin juga secara tidak langsung melindungi orang yang belum divaksin karena orang yang telah divaksin tak mungkin menulari yang belum divaksin.

Masalahnya, mengukur efektivitas vaksin untuk saat ini masih sulit. Tetapi baru-baru ini ada kabar gembira dari Israel mengenai efektivitas vaksin.

Mengutip laporan luas berbagai media global termasuk The Economist, New York Times dan jurnal Nature, hasil awal menunjukkan vaksinasi di Israel telah menekan infeksi dalam skala cukup besar dan ini terjadi baru dari satu dosis vaksin. Pastinya, setelah kedua dosis vaksin disuntikkan, hasilnya bakal jauh lebih bagus lagi.

Pakar-pakar kesehatan Israel memang mengakui data yang berasal dari vaksin Pfizer-BioNTech itu masih awal, namun bagi Dr. Anat Ekka Zohar dari Maccabi Health Services, salah satu organisasi kesehatan Israel yang merilis data itu, kabar ini "sangat memberikan harapan."

Baca juga: Italia minta Uni Eropa menindak Pfizer atas penundaan vaksin

Dalam laporan awal pertamanya, Clalit, organisasi pelayanan kesehatan terbesar di Israel, membandingkan 200.000 orang berusia 60 tahun ke atas yang telah menerima dosis pertama vaksin, dengan 200.000 orang yang belum divaksinasi. Clalit menyebutkan 14 sampai 18 hari setelah injeksi dosis pertama vaksin, 33 persen pasien yang sudah divaksinasi itu tak lagi bisa terinfeksi COVID-19.

Unit iset Maccabi malah mendapati penurunan angka infeksi yang jauh lebih besar, 60 persen. Dan ini terjadi 13 sampai 21 hari setelah dosis pertama disuntikkan kepada 430.000 warga Israel.

Senin pekan ini kementerian kesehatan Israel dan Maccabi merilis data terbaru mengenai warga yang sudah menerima dosis kedua. Hasilnya menunjukkan efektivitas vaksin luar biasa tinggi.

Menurut Kementerian kesehatan Israel, dari 428.000 orang yang mendapatkan dosis kedua vaksin, sepekan kemudian, hanya 63 orang atau 0,014 persen yang masih bisa terpapar COVID-19.

Sedangkan data Maccabi menunjukkan, satu pekan setelah menerima dosis kedua, dari total 128.600 orang yang disuntik dosis kedua vaksin, hanya 20 orang atau 0,01 persen yang terpapar lagi COVID-19.

Uji klinis sebelumnya menunjukkan vaksin Pfizer memiliki tingkat efikasi 95 persen, namun hasil yang terlihat di Israel itu menunjukkan efikasi vaksin Pfizer bisa lebih tinggi dari 95 persen.

"Ini data yang amat memberikan harapan," kata Dr. Zohar seperti dikutip New York Times. "Kami akan memonitor pasien-pasien ini secara ketat guna mengamati seandainya mereka terus mengalami gejala ringan dan tidak mengalami komplikasi akibat virus."

Sembari mengingatkan bahwa temuan mereka masih tahap awal, Clalit dan Maccabi menegaskan akan segera menindaklanjuti temuan ini dengan analisis statistik lebih mendalam dalam publikasi ilmiah telaah sejawat.


Baca juga: Prof Abdul lebih tenang saat berikan suntikan vaksin kedua ke Presiden

Baca juga: Meksiko mungkin setujui vaksin COVID-19 Rusia dalam beberapa hari

Baca juga: Presiden Afrika Selatan minta negara maju tidak timbun vaksin COVID-19

 
Bahaya merilis data mentah

Israel sendiri sudah memberikan dosis pertama vaksin COVID-19 kepada 40 persen dari total 9 juta penduduknya. Dengan jumlah sebesar itu Israel sudah bisa mewakili tes internasional untuk melihat tingkat efikasi vaksinasi.

Berpenduduk sedikit namun memiliki sistem kesehatan sangat terdigitalisasi dan program vaksinasi yang dibantu militer, real-world data (data yang merepresentasikan dunia nyata) yang disediakan Israel menjadi tambahan berguna bagi uji klinis untuk peneliti, perusahaan farmasi dan pembuat kebijakan.

Israel sebelumnya membuat kesepakatan dengan Pfizer bahwa produsen vaksin itu memasok vaksin kepada Israel dengan imbalan Israel memberikan data efikasi vaksin itu kepada Pfizer. Israel mempublikasikan luas kesepakatan dengan Pfizer ini kepada masyarakat.

Meskipun bergegas memvaksinasi warganya, Israel tetap menjadi korban gelombang ketiga virus sampai mesti menerapkan lagi lockdown secara nasional Januari ini setelah angka infeksi dan kematian melonjak selama beberapa pekan.

Israel sudah menghentikan penerbangan dari dan ke luar negeri mulai awal pekan ini dalam upaya membendung masuknya varian baru virus corona yang bisa merusak program vaksinasi mereka.

Baca juga: Cek fakta: Virus dapat hidup lagi dalam vaksin Sinovac?

Tetapi real-world data dari Israel itu masih tergantung kepada variabel-variabel yang bisa mengubah hasil penelitian dan yang berusaha diperhitungkan oleh uji klinis.

Para pakar menyebut hasil bagus ini karena mungkin orang-orang pertama yang divaksinasi memang lebih peduli pandemi sehingga lebih hati-hati menjaga jarak sosial dan memakai masker. Ini membuat temuan efektivitas vaksin menjadi bias karena tumpang tindih dengan akibat taat protokol kesehatan.

Maccabi berjanji akan lebih sering merilis data mingguan. "Pesan utamanya adalah bahwa sekalipun baru dosis pertama, vaksin ini efektif dan mengurangi morbiditas serta menurunkan rawat inap pasien dirawat rumah sakit sampai puluhan persen."

Namun kalangan pakar mengingatkan bahaya merilis data mentah karena bisa disalah-artikan. Sewaktu Clalit mempublikasikan data awal dua pekan lalu yang menyebutkan vaksin Pfizer efektif menekan kasus infeksi sampai 33 persen, orang membuat kesimpulan keliru bahwa vaksin Pfizer tidak efektif karena tidak sesuai dengan klaim efikasi 95 persen.

Akibatnya, terjadi kegaduhan. Inggris bahkan sampai menunda pemberian dosis kedua hingga 12 pekan sehingga berlawanan dengan jeda 21 hari yang menjadi dasar uji klinis Pfizer.

Tetapi menyimpulkan efektivitas vaksin memang bisa dianggap terburu-buru untuk saat ini. “Penyakit menular itu sangat tak terduga, jadi Anda perlu data banyak untuk memupus ketidakterdugaan itu,” kata Natalie Dean, pakar biostastik dari Universitas Florida di Gainesville seperti dikutip jurnal Nature.

Baca juga: Jubir: Kekebalan kelompok lindungi ibu hamil-menyusui dari COVID-19

Dampak vaksin juga akan lebih sulit ditaksir di wilayah-wilayah yang berhasil mengendalikan pandemi lewat lockdown dan protokol kesehatan yang ketat.

Lain hal, penularan yang masih merajalela membuat studi dampak vaksin kian rumit lagi, kecuali cakupan vaksinasi sudah luas sekali. Misal, vaksinasi pekerja kesehatan mungkin hanya bisa melindungi keluarga mereka dari infeksi, tapi ketika virus ada di mana-mana maka ada banyak kemungkinan virus masuk rumah tangga mereka.

Untuk itu, vaksin belum bisa segera mempengaruhi penyebaran virus, apalagi banyak negara menggunakan vaksin bertingkat efikasi sangat rendah yang tak mungkin bisa mengendalikan infeksi, kata Raina MacIntyre, epidemiolog pada Universitas New South Wales di Sydney, Australia.

Dari hasil pemodelan penyakit menular oleh Alexandra Hogan dari Imperial College London, vaksin yang kurang efektif mencegah infeksi tidak terlalu mempengaruhi tingkat penularan COVID-19.

Intinya, sampai ada vaksinasi massal, menghitung efektivitas vaksin masih sulit, apalagi ada faktor dampak protokol kesehatan dan lockdown terhadap turunnya tingkat infeksi.


Baca juga: 8000 tenaga kesehatan Jakarta Pusat sudah divaksin COVID-19

Baca juga: Uni Eropa targetkan vaksinasi 70% orang dewasa per Agustus 2021

Baca juga: Swedia tunda pembayaran vaksin COVID-19 buatan Pfizer

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021