Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Center of Human dan Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Adi Musharianto menyoroti aturan yang menyebabkan harga rokok masih terjangkau di pasaran sehingga prevalensi merokok di Tanah Air sulit turun secara signifikan.

"Pelanggaran menjual lebih rendah dari harga banderol disebabkan dari aturan yang memungkinkan menjual di bawah 85 persen dari harga banderol. Ada Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No.37 Tahun 2017, PMK Nomor 146/2017, Perdirjen Bea dan Cukai Nomor 25/2018. Aturan ini lah yg memicu rokok dijual di bawah harga banderol, bahkan di bawah 85 persen," ujar Adi melalui keterangan di Jakarta, Kamis.

Kebijakan Bea Cukai saat ini memungkinkan harga jual rokok di bawah 85 persen dari harga pita cukai atau Harga Jual Eceran (HJE) yang telah ditetapkan pemerintah. Hal itu tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea Cukai Nomor 37 Nomor 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Tembakau.

Baca juga: BPS: kenaikan cukai rokok tidak pengaruhi inflasi Februari

Produsen dapat menjual di bawah 85 persen dari HJE asal dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei oleh kantor Bea Cukai.

"Dampaknya, prevalensi perokok sulit turun lebih tajam," kata Ady.

Sementara itu, Youth Tobacco Control Advocate Komnas Pengendalian Tembakau Manik Marganamahendra mengatakan, selama 15 tahun terakhir harga rokok makin terjangkau sehingga berdampak terhadap prevalensi merokok khususnya pada anak muda.

"Masalahnya kalau anak muda sudah jadi konsumen, ke depannya juga berpotensi menjadi perokok," ujar Manik.

Baca juga: APTI sebut kenaikan tarif cukai semakin beratkan petani tembakau

Manik menuturkan, potensi anak muda menjadi perokok saat dewasa dipengaruhi dari kelompok sosial (lingkungan) dan harga.

"Dari teman satu gengnya punya dampak, tapi di sisi lain juga ada harga yang mempengaruhi askes rokok,” katanya.

Padahal, lanjutnya, mayoritas negara berkembang memiliki tingkat keterjangkauan yang tinggi terhadap rokok. Artinya, makin maju negaranya, harga rokok juga makin mahal.

"Kalau kita bandingkan, ternyata keterjangkauan harga rokok kita dengan negara lain, kita masih di angka minus 50 persen. Artinya sangat terjangkau di masyarakat," ujar Manik.

Menurutnya, tidak heran apabila prevalensi perokok anak justru meningkat. Berdasarkan Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi merokok pada populasi usia 10-18 tahun naik sebesar 1,9 persen dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021