Sumber prebiotik

Faktanya konsumsi sayur yang cukup dan aman dalam pola gizi seimbang terbukti tidak menyebabkan peningkatan berat badan, bahkan turut menurunkan berat badan.

Konsumsi sayur yang cukup dan aman juga turut mencegah obesitas, penyakit jantung koroner, diabetes tipe 2, dan kanker tertentu yang kejadiannya semakin meningkat di Indonesia.

Bahkan tidak ada bukti ilmiah bahwa mengonsumsi sayur mengganggu mikroba baik dalam tubuh. Mengonsumsi sayur menjadi sumber prebiotik atau ‘makanan’ bakteri baik sehingga meningkatkan pertumbuhan bakteri baik di usus.

Review yang dilakukan Swinburn BA et al pada 2004 juga menunjukkan bahwa konsumi pangan berserat, termasuk sayuran, menurunkan risiko obesitas pada level bukti sangat meyakinkan (“convincing”).

Suatu studi dengan disain yang meyakinkan yaitu meta-analisis, memperkuat bukti ilmiah sebelumnya bahwa konsumsi sayur dan buah tidak meningkatkan berat badan, bahkan menurunkan berat badan dan memperlambat peningkatan berat badan (Mytton OT et la, 2014).

Studi kohort selama lima tahun di Tiongkok membuktikan bahwa konsumsi sayur dan buah tidak berefek pada peningkatan berat badan wanita, bahkan menurunkan berat badan pada pria (Yuan S et al., 2018).

Sementara studi meta-analisis terkini oleh Schlesinger S et al (2019) memberikan bukti yang kuat bahwa konsumsi sayur tidak meningkatkan berat badan bahkan menurunkan berat badan, meski dikonsumsi sampai 400 g/hari. Sementara konsumsi buah bila melebihi 350 g/hari, dan konsumsi serealia bila melebihi 80g/hari meningkatkan berat badan.

Bahkan berdasarkan tiga studi meta-analisis masing-masing oleh Carter P (2010), Li M et al (2014), dan Wang P-y et al (2016), membuktikan bahwa konsumsi sayuran hijau menurunkan risiko penyakit diabetes melitus tipe2. Juga dibuktikan melalui review dan studi meta-analisis bahwa sayuran hijau dan kubis-kubisan turut mencegah penyakit jantung coroner (Pollock R.L et al, 2016 dan Tang G-Y, 2017).

Di sisi lain semua organisasi pangan dan kesehatan tingkat dunia, dan semua lembaga pemerintah, organisasi profesi dan kepakaran di bidang pangan, gizi dan kesehatan di Indonesia, selalu menganjurkan pentingnya makan sayur bagi kesehatan.

Konsumsi sayur dan buah penduduk Indonesia saat ini masih rendah yaitu 210 g/kapita/hari (BPS 2019), yang seharusnya untuk hidup sehat berdasarkan anjuran Lembaga Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerin Kesehatan RI adalah 400 g/kapita/hari, terdiri dari 250 g sayur dan 150 g buah.

Disadari bahwa ada orang yang tidak suka makan sayur, yang seharusnya dengan komitmen (niat) yang kuat disertai berbagai cara kuliner dan seni menikmati makanan dapat diatasi secara bertahap.

Saat ini semua khawatir, keberadaan informasi dari public figure atau influencer yang tidak sesuai teori dan bukti ilmiah serta regulasi tentang anjuran mengonsumsi sayur, akan mengubah persepsi masyarakat terhadap program pemerintah dalam meningkatkan konsumsi sayur masyarakat.

Faktanya memang tidak ada satu cara atau diet yang paling sehat untuk semua orang. Diet atau pola makan atau pola hidup sehat untuk pengendalian lemak tubuh orang yang obes bersifat unik atau “personalize” (individual). Disebut bersifat “personalize” karena ada potensi keunikan atau pembeda seseorang dengan orang lain dalam responnya terhadap diet.

Faktor yang mempengaruhi kelebihan lemak tubuh atau obesitas itu kompleks dan tidak hanya soal diet (makanan, minuman), olahraga dan tidur, serta pengelolannya.

Tetapi masih ada faktor lain seperti faktor genetik, kondisi awal komposisi tubuh, kondisi masa lalu misal pernah stunting atau obes, stres, keseimbangan hormon, enzim, fisiologi, inflamasi, probiotik, jenis kelamin, umur, polusi atau toksik, lingkungan, penyakit penyerta, dan lain-lain beserta interaksinya dalam merespons dan direspons oleh makanan dan zat didalamnya.

Misalnya saja diet sangat rendah energi (Diet SRE) belum tentu cocok bagi semua orang obesitas. Juga belum tentu semua orang obes punya kemampuan yang sama dalam ketahanan merespon keluhan atau efek samping yang dihadapi dalam program Diet SRE seperti lapar, pusing, mual, lemas, konstipasi, kram, dan potensi risiko terjadinya batu empedu, dan rambut gampang rontok setelah enam bulan.

Studi meta analisis menunjukkan bahwa efek “yoyo syndrome” setelah sekian tahun dari Diet SRE tidak berbeda dengan efek diet rendah energi (Diet RE).

Jika seseorang yang obesitas perlu mengikuti Diet SRE, maka akan perlu asesmen persyaratan tertentu dan di bawah pengawasan tenaga profesional, agar minimal risiko.

Di Amerika diet SRE tidak diperkenankan bagi anak dan remaja, bagi ibu hamil, ibu menyusui dan bagi mereka yang menyandang penyakit serius seperti kanker, gagal ginjal, jantung koroner, stroke dan gangguan psikologis serius.

Juga hanya dibolehkan bagi orang obes dengan kriteria tertentu missal IMT lebih dari 30, kelebihan berat badan minimal 30 persen atau pertimbangan lain.

Calon klien juga harus bersedia bekerja sama dengan dokter, dietisien, nutrisionis olahraga, dan bila perlu psikolog. Selain juga perlu diases dan diagnosis mencakup aspek medik, gizi, olahraga, dan psikososial yang penting untuk pengaturan gaya hidup secara holistik, agar tidak terjadi “yoyo syndrome”. Artinya dibutuhkan komitmen klien dan semua pihak profesional yang terlibat.

PERGIZI PANGAN Indonesia mengharapkan lembaga pemerintah yang berwenang di bidang kesehatan dan organisasi professional kesehatan terkait untuk bekerja sama menyusun panduan asuhan gizi dan kesehatan holistik dalam pelayanan diet SRE yang memiliki “evidence based”.

Selain itu diharapkan masyarakat lebih waspada dan cermat dalam memilih cara mengendalikan komposisi tubuh dan hidup sehat sesuai keunikan permasalahannnya. Dan terpenting pula melakukan konsultasi terlebih dahulu kepada pakar di bidangnya.

Baca juga: Diet ekstrem yang berbuah langsing tapi banyak ruginya

Baca juga: Ahli gizi: diet kurang dari 800 kalori sehari tak boleh sembarang

Baca juga: Berapa kebutuhan protein untuk turunkan berat badan dan bangun otot?






 

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021