Jakarta (ANTARA News) - Kebangkrutan "Les Bleus" di pentas Piala Dunia 2010 memantik pertanyaan menyelidik bagi publik penggila bola sedunia, ada apa dengan Raymond Domenech bersama para punggawanya?

Jawabnya, dia bersama anak buahnya tengah digeledah oleh energi cinta kemudian dibaptis dalam bejana kebijakan bahwa setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedangkan pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik pula.

Juara dunia 1998 ini tidak seperti menghirup energi cinta ketika meladeni seterunya pada Piala Dunia kali ini. Tak ada satu pun kemenangan yang direngkuh oleh Patrice Evra dkk.

Alih-alih bertekad meraup kemenangan di pertandingan terakhir fase grup, tim "Ayam Jantan" menelan pil pahit dengan takluk 1-2 dari Afrika Selatan. Ada paceklik cinta di tubuh timnas Perancis.

Meskipun Domenech dan Evra telah meminta maaf atas kealpaan tidak merawat cinta, ada yang terlupa bahwa mereka kedapatan tersesat dalam cinta.

Tidakkah mereka paham bahwa energi cinta memunculkan senyum sumringah, menyadarkan diri agar tidak terlalu memperhatikan diri sendiri, melindungi dan mendampingi orang-orang yang telah memberi kepercayaan.

Berbekal energi cinta, kekalahan setiap laga akan dimaknai dalam kata-kata, "menyembuhkan hati berarti mencoba mengusir pedih dan menghalau perih". "Saya merasa sedih. Saya merasa dalam kondisi yang sulit atas apa yang terjadi pada beberapa hari ini," kata Domenech.

Kata Evra menimpali, "Saat ini waktu yang tepat untuk meminta maaf. Ini permintaan maaf bagi jutaan masyarakat Perancis".

Keduanya tersengat kesedihan. Keduanya terdampar dalam iming-iming mitos bahwa lebih baik pernah mencintai dan kehilangan mereka yang dicintai ketimbang tak pernah sama sekali mencintai seseorang.

Bukankah Domenech menunjukkan sikap kurang ksatria? Seusai timnya keok di Stadion Free State, Bloemfontein, Selasa (22/6), pelatih berusia 58 tahun itu menolak bersalaman dengan pelatih tuan rumah, Carlos Alberto Parreira. Ibaratnya, guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Seakan terkena tuah dari kebencian yang menyuburkan perseteruan, para personel "Les Bleus" justru ogah berlatih, menyusul pemulangan striker Nicolas Anelka. Evra dan Pelatih Kebugaran Robert Duverne saling meluapkan kemarahan. Angkara murka merajai sanubari mereka.

"Mereka tidak mau berlatih, ini skandal," kata Direktur Timnas sekaligus Direktur Pelaksana Federasi Sepak Bola Perancis (FFF), Jean-Louis Valentin. Valentin ikut-ikutan ngacir dari tempat latihan setelah para pemain bubar. Ujung-ujungnya, Valentin memilih lengser dari jabatannya di FFF.

Boleh dibilang mereka diserap energi benci. Mereka menafikan hukum besi dari cinta bahwa terkadang dibutuhkan ekstra keberanian dan sejumput kenekadan untuk bertindak benar. Mereka melupakan rahasia cinta sejati dalam drama kolosal ciptaan pujangga Inggris Shakespeare, Romeo dan Juliet.

Baik Romeo maupun Juliet sama-sama menyemai benih cinta agar menuai keberanian menerima kematian lantaran memeluk energi cinta. Sportivitas plus cinta justru ada dalam keberanian memenangkan pertempuran melawan kemauan diri sendiri.

Buktinya, menjelang laga penentuan nasib Perancis melawan Afsel, Domenech melontarkan penghakiman kepada anak asuhannya yang meniup nafiri desersi dengan melontarkan kata "bodoh".

"Saya berusaha meyakinkan mereka bahwa mereka melakukan penyimpangan, kebodohan, ketololan tanpa sebab, kata Domenech, seperti dikutip Sky Sports.

Baik pelatih maupun pemain Prancis dilanda krisis afektif. Di mata Evra dan kawan-kawan, Domenech dinilai kurang hati-hati berbicara, cenderung sembrono. Sebaliknya, di mata Domenech, mereka yang mogok berlatih kurang memiliki kreativitas dalam melakukan revolusi diri.

Mengapa mereka justru membajak di ladang kebencian, bukan membajak di ladang kecintaan akan sesama?

Skuad Perancis mengabaikan energi cinta yag terbalut dalam kata-kata, "Aku tak bisa bahagia kecuali hidupku berbeda dari yang sekarang. Begitu memutuskan menjadi bahagia, kamu akan merasakan dirimu memikirkan hal-hal yang bahagia kemudian menyingkirkan hal-hal yang tidak bahagia".

Publik Perancis bakal mengenang bahwa timnas pujaan hatinya justru tidak memperoleh apa-apa di bawah kepemimpinan Raymond "Kepala Batu" Domenech. Belum lagi, perilaku Perancis menyingkirkan Irlandia di babak play off kualifikasi zona Eropa. "Les Bleus" menggunakan tangan Thierry Henry untuk menjebol gawang Irlandia, yang membuat mereka akhirnya melenggang ke Afsel.

Antiklimaks dari drama Ayam Jantan memunculkan melodrama bagi publik Irlandia. Tak secuil pun keprihatinan setelah melihat kegagalan Henry dan kawan-kawan.

"Saya sangat senang karena perjalanannya berakhir. Saya pikir, mereka pergi ke sana dengan cara yang salah. Masih ingat cara mereka mengalahkan kami? Semuanya terdokumentasi," ujar mantan manajer Irlandia, Liam Brady, yang mencatat 72 caps bagi negaranya.

Sampai-sampai salah satu dedengkot timnas Perancis Laurent Blanc menyebut Domenech bermain di aras kebencian, bukan di arus kecintaan. Para pemain merasakan bahwa tidak ada cinta, tidak ada perasaan kasih sayang alias miskin afektif di bawah kepemimpinan Domenech.

Di bawah asuhan Domenech, skuad Perancis kehilangan inspirasi dari era Pencerahan yang lebih dulu dihidup-hidupkan bahkan dirayakan oleh Zinedine Zidane, Lilian Thuram dan Claude Makelele. Saatnya menggeledah energi cinta Domenech.

Dan publik Perancis menggadang-gadang Blanc untuk mengembalikan kehormatan negeri mereka sebagai salah satu "dari yang terbaik" di dunia.

Tinggal sekarang, apakah Blanc mampu menanam dan menyuburkan aras cinta dalam kegembiraan hidup?

Setiap bertemu dan berinteraksi dengan punggawa Les Bleus, perlu ada aksioma cinta bahwa tidak perlu orang meragu untuk menginginkan kegembiraan dan kesenangan. Bila ada kesempatan, jangan ragu untuk memberi kegembiraan dan kesenangan kepada orang lain.

Andaikata seseorang tidak pernah mengalami kesenangan dan mencecap kegembiraan dalam pelaksanaan pekerjaan-pekerjaannya, maka pastilah dia mengalami hidupnya sarat kejijikan.

Dapatkah orang memetik buah anggur dari hati yang ditumbuhi semak berduri?
(A024/T009)

Pewarta: Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010