Baghdad (ANTARA News/Reuters) - Kelompok Al-Qaeda Irak hari Rabu mengklaim bertanggung jawab atas serangan bom mematikan kedua terhadap sebuah bank pemerintah dalam waktu sepekan.

Dalam sebuah pernyataan yang dipasang di situs-situs berita jihad, kelompok militan Sunni Negara Islam Irak (ISI) menyatakan mendalangi dua serangan bom mobil bunuh diri Minggu terhadap Bank Dagang Irak yang menewaskan 26 orang.

Kelompok itu sebelumnya mengklaim bertanggung jawab atas serangan terkoordinasi terhadap Bank Sentral Irak oleh orang-orang bersenjata dan pembom bunuh diri pada 13 Juni, menjelang sidang pertama parlemen baru Irak. Sebanyak 18 orang tewas dalam serangan tersebut.

Serangan-serangan itu menambah kekhawatiran mengenai stabilitas di Irak setelah pemilihan umum Maret lalu tidak menghasilkan pemenang yang jelas.

"Dua ksatria dari Baghdad melancarkan serangan baru terhadap markas penjahat di pusat kota Baghdad," kata ISI dalam pernyataan itu.

Bank Dagang Irak, kata kelompok Al-Qaeda Irak itu, terlibat dalam "perampokan cadangan minyak dan dana luar negeri Irak" yang kemudian dipindahkan "ke kantung-kantung para pejabat tinggi pemerintah" dan partai Syiah.

Serangan terkoordinasi pada Minggu (13/6) terhadap Bank Sentral Irak di Baghdad dilakukan oleh sejumlah pembom bunuh diri dan orang bersenjata yang menyamar dengan memakai seragam militer Irak.

Penyerbuan mulai terjadi ketika seorang penyerang bunuh diri yang mengenakan seragam kapten angkatan darat meledakkan bom di dekat bangunan itu, yang menjatuhkan sejumlah korban dan menyulut tembak-menembak dengan pasukan keamanan.

Sebagian besar dari ke-18 korban tewas dan 55 korban cedera sebelum berakhirnya pengepungan itu adalah pegawai bank, menurut keterangan yang dikeluarkan oleh Mayor Jendral Qassim Atta, juru bicara komando keamanan di Baghdad, ibukota Irak.

Ketidakpastian politik setelah pemilihan umum 7 Maret telah menyulut peningkatan kekerasan dalam dua bulan terakhir. Menurut data pemerintah, 337 orang tewas dalam kekerasan pada Mei.

Kekerasan di Irak mencapai puncaknya antara 2005 dan 2007, kemudian menurun tajam, dan serangan-serangan terakhir itu menandai terjadinya peningkatan.

Hampir 400 orang tewas dan lebih dari 1.000 lain cedera tahun lalu dalam serangan-serangan bom terkoordinasi di sejumlah gedung pemerintah, termasuk kementerian-kementerian keuangan, luar negeri dan kehakiman pada Agustus, Oktober dan Desember.

Pemilihan umum pada 7 Maret tidak menghasilkan pemenang yang jelas dan bisa memperdalam perpecahan sektarian di Irak, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai peningkatan kekerasan ketika para politikus berusaha berebut posisi dalam pemerintah koalisi yang baru.

Seorang jendral senior AS dalam wawancara dengan AFP beberapa waktu lalu memperingatkan, gerilyawan mungkin akan melancarkan serangan-serangan yang lebih mengejutkan seperti pemboman dahsyat di Baghdad pada 25 Oktober, menjelang pemilihan umum Maret.

Mayor Jendral John D. Johnson mengatakan bahwa meski situasi keamanan akan stabil pada pertengahan tahun ini, kekerasan bermotif politis yang bertujuan mempengaruhi bentuk pemerintah mendatang merupakan hal yang perlu dikhawatirkan.

Dua serangan bom bunuh diri menewaskan 153 orang di Baghdad pusat pada 25 Oktober.

Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.

Pemboman di Baghdad dan di dekat kota bergolak Mosul tampaknya bertujuan mengobarkan lagi kekerasan sektarian mematikan antara orang-orang Sunni dan Syiah yang membawa Irak ke ambang perang saudara.

Meski ada penurunan tingkat kekerasan secara keseluruhan, serangan-serangan terhadap pasukan keamanan dan warga sipil hingga kini masih terjadi di Kirkuk, Mosul dan Baghdad.

Banyak orang Irak juga khawatir serangan-serangan terhadap orang Syiah akan menyulut lagi kekerasan sektarian mematikan antara Sunni dan Syiah yang baru mereda dalam 18 bulan ini. Puluhan ribu orang tewas dalam kekerasan sejak invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003. (M014/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010