Cape Town (ANTARA News) - Sekitar 16 orang anak buah kapal (ABK) asal Indonesia merasa dijebak karena harus bekerja dengan gaji yang sangat rendah dan tidak sebanding dengan pekerjaan yang mereka lakukan di Cape Town, Afrika Selatan.

Dua dari 16 orang ABK tersebut, yaitu Tri Prestyo Budi (24 tahun) dan rekannya Riswanto yang ditemui di Water Front, Cape Town, Senin (Selasa WIB) menuturkan bahwa mereka hanya digaji sebesar 150 dolar AS sebulan, dan pada delapan bulan pertama, gaji mereka dipotong sebesar 100 dolar dengan alasan untuk biaya pengganti tiket pesawat.

Kedua pemuda tersebut secara tidak sengaja bertemu dengan ANTARA dan beberapa media lainnya saat berada di toilet Mal Alfred and Victoria di kawasan wisata Water Front, tidak jauh dari stadion sepak bola Piala Dunia 2010, Green Point.

Kedua pemuda yang mengaku masih bujangan itu, kemudian kemudian dicegat karena sedang mengobrol dalam bahasa Jawa. Tri bertubuh kecil, berasal dari Pekalongan, sementara rekannya Riswanto yang berambut gondrong, berasal dari Brebes, Jawa Tengah.

Tri dan Riswanto menuturkan bahwa mereka bekerja di sebuah kapal penangkap ikan, Yumi Yu yang berbendera Taiwan sejak 19 bulan lalu dan saat ini sedang sandar di Cape Town.

Mereka mengaku sudah mengetahui akan mendapat gaji sebesar 150 dolar sebulan, dengan asumsi bahwa gaji tersebut memang sudah standar, sama dengan gaji ABK dari negara lain.

"Ternyata gaji kami paling rendah dibanding ABK lain yang berasal dari Filipina atau Vietnam," kata Tri yang hanya lulusn SMP 6 Batang, Jawa Tengah.

Tri dan SIwanto menyatakan bahwa mereka sudah tidak tahan dengan kesejahteraan yang tidak sesuai dengan tenaga dan waktu yang telah mereka korbankan.

Yang tidak masuk akal, selain digaji rendah dan harus bekerja selama 18 jam sehari, mereka hanya digaji jika sedang berada di laut, sementara kalau sedang sandar saat ini selama empat bulan di Cape Town, mereka sama sekali tidak digaji.

"Lama-lama uang saya bisa habis karena empat bulan di darat tidak mendapat gaji. Meski tidak digaji saat sandar, kami masih tetap disuruh bekerja, seperti memperbaiki kapal dan sebagainya," kata Tri.

Kedua pemuda tersebut sudah menyampaikan keinginan mereka kepada perusahaan bahwa mereka sudah tidak tahan dan ingin segera pulang, kembali ke Tanah Air.

"Tapi bos mengatakan mengapa pulang dan disuruh pikir-pikir dulu. Paspor kami juga ditahan oleh bos," kata Tri yang berangkat melalui sebuah perusahaan jasa tenaga kerja di Jelambar, Jakarta.

Tri dan Siswanto juga mengakui bahwa mereka tidak bisa menikmati hingar bingar Piala Dunia 2010 yang ada di depan mata karena harga tiket sudah melebihi gaji mereka sebulan.

"Kami memang pernah menonton pertandingan Piala Dunia disini sebanyak dua kali. Tapi tiket itu kami dapatkan dari sisa tiket orang lain keluar setelah babak pertama berakhir," kata Tri yang berencana akan segera menikah setelah pulang ke Tanah Air.(*)
(A032/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010