Yogyakarta (ANTARA News) - Pria itu sudah tidak muda lagi, 52 tahun. Pada usia itu, dia adalah pria matang. Dulu namanya bersinar karena dinilai sebagai tokoh muda Muhammadiyah. Kini sebagian besar rambutnya sudah berwarna perak. Ada gurat usia di keningnya. Ada jejak sejarah di sudut matanya.

Namun, senyum khasnya selalu muncul pada siapa saja. Itu pula yang membawanya akrab di kalangan mana saja, dari cendikiawan, politisi, tokoh pergerakan, ulama, mubaligh, ustadz, birokrat hingga kalangan artis dan selebritis dan olahragawan.

Dia berpembawaan tenang. Jika berbicara runtun dan cenderung datar layaknya cendikia. Tidak menggebu-gebu, tidak pula berapi-api. Itu pula agaknya yang membawanya diterima banyak pihak.

Sejumlah kalangan mengatakan dirinya sebagi ustadz yang gaul, dekat dengan banyak orang, termasuk sejumlah bintang. Dia rutin menggelar pengajian, baik yang khusus untuk kalangan Muhammadiyah maupun lintas profesi. Pria yang awet muda itu adalah Din Syamsuddin.

Kini Muktamar ke-46 Muhammadiyah di Jogjakarta memilihnya sebagai ketua umum untuk yang kedua kali. Dia terpilih secara aklamasi pada sidang yang dihadiri oleh 13 calon ketua umum terpilih. Pada sidang yang digelar di Ruang AR Fakhrudin, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu setiap calon ketua umum terpilih menyampaikan tausiyah (nasehat)-nya.

Pimpinan Sidang Pleno Rosyad Sholeh menjelaskan rapat berlangsung dengan hikmat, sejuk dan penuh persaudaraan. "Ke-13 orang ini berbicara dari hati ke hati sebelum akhirnya memutuskan Din sebagai Ketua Umum," katanya.

Sesuai aturan organisasi yang membutuhkan penetapan Ketua Umum di dalam sidang pleno, maka Rosyad pun kemudian menawarkan kepada peserta muktamar apakah menyetujui Din Syamsuddin sebagai Ketua Umum atau tidak. Pernyataan itu disambut kata setuju.

Din terpilih setelah mendapat suara terbanyak pada penyaringan calon ketua umum yang dilakukan dalam sidang pleno sehari sebelumnya. Din meraih 1.915 suara, Muhammad Muqodas 1.650, A Malik Fajar 1.562, A Dahlan Rais 1.508, Haedar Nashir 1.482, Yanuhar Ilyas 1.431, Abdul Mu`ti 1.322, Agus Danarta 1.034, Syafiq A Mugni 952, Fatah Wibisono 942, M.Goodwil Zubir 931, Bambang Sudibyo 887, Dadang Kahmad 797, Syukrianto 793 dan AM Fatwa 790 suara.

Meski tidak otomatis menjadi ketua umum tetapi beredar isu bahwa diperlukan voting diantara 13 orang tersebut untuk memilih siapa yang terbaik diantara mereka untuk menjadi ketua umum. AD/ART Muhammadiyah memang tidak menyatakan siapa yang meraih suara terbanyak otomatis terpilih menjadi Ketua Umum.

Namun, ada konvensi yang menyatakan siapa yang meraih suara terbanyak maka dialah yang terpilih. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif menyebutkan sejak era Ketua Umum PP Muhammadiyah AR Fachruddin hingga muktamar 2005, terdapat konvensi peraih suara terbanyak sebagai ketua umum PP Muhammadiyah. Konvensi itu agaknya berlaku lagi pada muktamar ke-46 ini.

Nama Din Syamsuddin sendiri sudah tidak asing di jagad organisasi massa dan partai politik Indonesia. Pria kelahiran Sumbawa Besar, 31 Agustus 1958 lalu itu muncul ke permukaan setelah kembali dari tugas belajar di Amerika Serikat pada 1988. Di sana dia belajar di University of California Los Angeles (UCLA) pada Interdepartmental Programme in Islamic Studies untuk meraih gelar S-2 (MA).

Setahun kemudian dia memimpin (Ketua Umum) PP Pemuda Muhammadiyah untuk periode 1989-1993. Aktivitasnya yang besar di organisasi itu membuat label sebagai tokoh muda Muhammadiyah melekat erat pada dirinya. Sebenarnya aktivitasnya di organisasi sudah di jejak sejak 1970 dengan menjadi Ketua Ikatan Pelajar NU (IPNU) Cabang Sumbawa,lalu Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, IAIN Jakarta (1980 - 1982) dan Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM, 1985).

Begitu melekatnya label tokoh muda itu menjadikan peluangnya menjadi ketua Umum PP Muhammadiyah pada muktamar di Banda Aceh pada 1995 dikecilkan karena dinilai masih muda. Namun sebagai bintang baru organisasi Islam modern, agaknya bintang Din sudah tak tertahankan lagi.

Pada 2000 dia terpilih menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah, lalu menjadi Sekretaris Dewan Penasihat ICMI Pusat (1990-1995), Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (2000-2005) dan lalu menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah pada 2005.

Pada diri suami dari Fira Beranata itu melekat juga aroma politik dan juga birokrat. Din sempat menjadi Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan DPP GOLKAR (1993-1998), Wakil Sekjen DPP GOLKAR (1998-2000), Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan MPR-RI (1998) dan Wakil Ketua Fraksi Karya Pembangunan MPR-RI (1999).

Di birokrasi, alumni Pondok Modern Gontor, Jawa Timur (1975) itu pernah menjadi Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Depnaker RI (1998-2000). Kiprahnya di politik (Partai Golkar) yang menjadikan ayah dari tiga anak itu sering diterpa isu bahwa Muhammadiyah kerap tidak independen, terutama pada pemilihan presiden pada 2009.

Jusuf Kalla

Din dinilai lebih berpihak kepada Jusuf Kalla dibanding calon presiden lainnya. Itu pula agaknya yang membuat orang mengaitkan ketidakhadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada muktamar di Jogjakarta yang seiring dengan peringatan satu abad organisasi itu.

Amien Rais, mantan Ketum Muhammadiyah, seperti yang dikutip sebuah portal berita mengatakan, "Saya tidak berburuk sangka, tetapi mungkin SBY tidak mau karena sikap politik Din Syamsuddin yang mendukung Jusuf Kalla saat pemilihan presiden."

Apapun kondisinya, Din sudah menggariskan bahwa hubungan Muhammadiyah dengan pemerintah tidak berubah, yakni loyal kritis. "Kita akan bersikap proporsional terhadap pemerintah dan itu sudah menjadi watak Muhammadiyah," kata Din kepada pers usai terpilih sebagai ketua umum, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Hubungan itu digambarkannya sebagai hubungan yang baik karena organisasi Islam besar itu ikut mendirikan negara, karena itu komitmen terhadap negara dan bangsa bersifat substansif, sejati dan institusional kepada negara dan pemerintah. Itu pula yang menjadikan Muhammadiyah tetap loyal kepada pemerintah dan negara, siapapun presiden dan pemerintah.

Namun, di sisi lain dia mengingatkan bahwa sebagai organisasi dakwah yang berpegang pada prinsip "Amar ma`ruf nahi munkar" maka Muhammadiyah akan tetap kritis pada pemerintah untuk kebaikan. "Inilah yang saya sebutkan hubungan proporsional atas dasar loyal kritis antara Muhammadiyah dan pemerintah," kata Din.

Kritik itu, diartikan peraih Ph.D (doktor) dari UCLA), USA, (1991) itu sebagai wujud cinta dan menyayangi pemerintah dan negara ini. Dengan sikapnya seperti itu, dia mengatakan sekarang terserah kepada pemerintah, kepada petinggi negara bagaimana bersikap kepada Muhamamdiyah. Lepas dari itu, Din yakin sikap pemerintah akan selalu dan tetap baik Muhammadiyah.

Lalu, bagaimana hubungan organisasi massa Islam itu dengan partai politik? Din menggariskan Muhammadiyah Tidak memiliki hubungan organisasi dengan partai politik manapun.

Di forum internasional, nama Din juga tidak asing lagi. Dia adalah Chairman dari World Peace Forum, President Asian Committee on Religions for Peace yang berkantor pusat di Tokyo, Honorary President World Conference on Religions for Peace yang berkantor pusat di New York.

Selain itu, ia juga anggota World Council of World Islamic Call Society yang berkantor pusat di Tripoli, dan Wakil Sekjen World Islamic People?s Leadership yangberkantor pusat di dan anggota Strategic Alliance Russia based Islamic World serta anggota UK-Indonesia Islamic advisory Group.

Dia berbicara di berbagai forum internasional tentang pentingnya dialog antar peradaban, penciptaan perdamaian, dan pentingnya pelibatan tokoh-tokoh lintas agama untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi dunia saat ini, seperti terorisme, kesenjangan kaya miskin, penodaan agama dan labelisasi terorisme pada kelompok agama tertentu.

Pria yang hobi bermain sepakbola itu, lima tahun ke depan kembali akan disibukkan dengan segala pernak-pernik masalah keumatan dengan jangkauan yang lebih luas, bukan hanya masalah organisasi dan amalan (sekolah, perguruan tinggi, klinik, rumah sakit dan bisnis) Muhammadiyah, tetapi juga masalah dunia.

Awal Juli ini jadwalnya menonton Piala Dunia mungkin agak terganggu, tetapi setelahmuktamar selesai pada 8 Juli, dia masih berkesempatan menonton final dengan setumpuk masalah umat di kepalanya.

Ucapan selamat patut disampaikan kepada Bang Din, dan Indonesia maupun masyarakat internasional menanti kelanjutan kiprah melalui organisasi massa Islam besar pimpinannya.
(T.E007*A025/P003)

Oleh Oleh Erafzon S.A.S. & Ahmad Wi
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010