Jakarta (ANTARA News) - Masyarakat, berdasarkan penelusuran ANTARA News, Rabu, mengungkapkan ketakpercayaannya bahwa sejumlah perwira tinggi polisi seperti dilaporkan majalah Tempo edisi 28 Juni 2010, bisa memiliki rekening bermiliar-miliar rupiah, namun masyarakat meminta jika berita itu benar maka kasus itu harus diungkap tuntas ke publik.

"Saya tak percaya kalau jumlah rekening polisi sampai miliaran dan hal itu perlu diusut sampai tuntas," kata Mulyono (40), pengemudi taksi yang biasa mangkal di daerah Gambir, Jakarta.

Mulyono menilai, jika gaji pokok polisi jenderal bintang empat saja kurang dari tiga juta rupiah, alangkah mengherankannya jika ada polisi dengan pangkat lebih rendah dari itu bisa memiliki rekening bermiliar-miliar rupiah.

Ani Mardiana (54) yang adalah seorang guru sebuah SMA Negeri di Jakarta menimpali dengan meminta polisi untuk tidak menutup-nutupi kasus ini. "Buka saja, seperti yang dilakukan oleh Pak Susno Duadji," katanya.

Selain mendesak polisi agar membuka kasus ini, masyarakat juga mendorong media massa untuk tetap mengungkapkan ketidakbenaran-ketidakbenaran, kendati harus berujung teror seperti pelemparan bom molotov ke kantor redaksi majalah Tempo, Selasa (6/7).

"Tempo harus melanjutkan pemberitaan membongkar hal itu dan pers jangan takut karena punya undang-undang sendiri," kata Yugo Septantio, mahasiswa Universitas Nasional, Jakarta.

Tapi, seperti kebanyakan orang lainnya, Yugo tetap percaya bahwa secara institusional Polri tetap mesti mendapat penghormatan dan kepercayaan dari masyarakat.

Yugo menilai penyimpangan dan pelanggaran yang terjadi hanya ulah oknum polisi yang tak bertanggungjawab. Untuk itu, dia mendesak Polri memberantas oknum-oknum yang merusak citranya.

Masyarakat menangkap ada ironi besar jika sinyalemen media mengenai rekening perwira polisi yang disebut Tempo "rekening gendut" itu benar, mengingat polisi sendiri tidak cukup mengayomi masyarakat.

Mulyono yang sudah 10 tahun menjadi supir taksi di Jakarta, menilai pelayanan polisi tak berubah, bahkan menyebut motto polisi "melindungi dan mengayomi masyarakat" sebagai omong kosong belaka.

"Saya jika kena tilang sudah sering dan pasrah saja, dan sering menaruh uang yang diselipkan dalam STNK, biar urusan lebih cepat selesai," akunya.

Menurutnya, sopir angkutan kota, bajay, dan taksi adalah sasaran empuk tilang polisi.

Andi Palapa (31), juga pengemudi taksi, mengaku polisi memang kerap menawarkan bantuan manakala dia terkena tilang, namun ujung-ujungnya tetap dimintai uang.

Sementara Yugo yang sehari-hari bersepedamotor ke kampusnya, mengaku selalu dihantui ketakutan ketika berhadapan dengan polisi yang diakuinya seperti hendak didatangi preman.

Ia mengisahkan satu pengalamannya sewaktu dibawa ke pos jaga polisi menyusul jatuh tilang polisi kepadanya. Di situ, dia dimintai sejumlah uang padahal dia tidak memiliki sepeser pun dan tidak merasa berbuat salah sedikit pun.

"Polisi selalu mencari-cari alasan yang tidak masuk akal, seperti pentil ban sepeda motor yang tidak ada," terang Yugo.

Mungkin masyarakat subjektif, tetapi boleh jadi begitulah suara masyarakat mengenai polisi yang bertugas mengayominya itu. Yang jelas, suara-suara kritis ini tak boleh diabaikan.

Bahkan Ani Mardiana mengharapkan polisi direformasi karena masih banyak oknum-oknum yang tidak mengayomi masyarakat, dan malah merusak nama Polri sendiri. Reformasi, sebut Ani Mardiana, dilakukan juga demi pembenahan menyeluruh di lembaga penegakan hukum itu. (*)

editor: jafar sidik

Oleh Yudha Pratama
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010