Denpasar (ANTARA News) - Masyarakat Desa Adat Tenganan Dauh Tukad, Kabupaten Karangasem, Bali, kembali menggelar kegiatan tradisi "perang pandan" yang melibatkan puluhan pasang petarung dari dua kelompok yang saling berhadapan pada hari Jumat, 30 Juli 2010.

"Giat tradisi yang berlangsung setiap tahun itu digelar dalam rangkaian upacara Ngusaba Desa di Desa Adat Tenganan Dauh Tukad," kata Prof Dr I Gde Parimartha MA, tokoh masyarakat Desa Adat Tenganan, kepada ANTARA di Denpasar, Jumat.

Parimartha yang juga guru besar Fakultas Sastra Universitas Udayana itu menjelaskan, tradisi perang pandan itu akan berlangsung mulai pukul 13.00 waktu setempat, yakni sebelum kegiatan ritual "Ngusaba Desa" dimulai.

Tradisi perang pandan itu digelar masyarakat setempat secara berkesinambungan setiap tahun sebagai rangkaian kegiatan "Ngusaba Desa", dan kali ini akan digelar minggu depan.

Sedikitnya 20 pasang dari kedua kelompok yang saling berhadapan itu terdiri atas anak-anak, pemuda dan orang tua.

Di tangan setiap peserta yang tampil dalam "perang" itu masing-masing menggenggam sebuah "senjata" pandan berduri yang akan dipergunakan untuk melukai tubuh lawannya dalam pertarungan.

Parimartha menambahkan, "perang pandan" diiringi dengan alunan musik tradisional Bali (gamelan). Makin keras suara gamelan, kedua pria yang saling berhadapan itu lebih semangat untuk saling menyerang.

"Perang" antardua kelompok itu diawasi oleh seorang wasit yang memimpin pertandingan tersebut. Ketika para pria bertemu dengan "musuhnya" dan masing-masing memegang satu ikat daun pandan berduri (satu ikat terdiri dari 20 batang), maka perang pun tidak bisa dihindari.

Para pria, satu lawan satu yang tangan kirinya membawa tameng yang terbuat dari pohon ate dan tangan kanan menggenggam daun pandan berduri, berupaya melukai punggung maupun dada atau leher lawan.

Tak hayal, tubuh yang terkena daun pandan berduri mengeluarkan darah segar sehingga darah menetes dan mengalir di sekujur tubuh.

Saling pukul, saling gores dan saling dorong terus dilakukan oleh para kaum pria, tak peduli apakah darah lawan sudah mengucur atau badannya sendiri sudah berdarah-darah.

Gending Mekara-kara yang mengiringi perang tersebut seolah membuat para laki-laki itu kian "kesetanan", tidak peduli terhadap rasa sakit yang dialami maupun luka di tubuh lawan.

Tidak ada belas kasihan meskipun lawan sudah banyak mengucurkan darah dan terjatuh, tangan yang memegang pandan berduri tetap saja dipukulkan dan digoreskan ke tubuh lawan yang sudah tak berdaya.

Tak pelak warga yang menonton, termasuk wisatawan mancanegara ikut merasakan miris melihat darah keluar bercucuran, belum lagi jika ada duri yang tertancap tertinggal di tubuh "korban", sehingga banyak yang merinding atau berupaya menutup muka dengan tangan.

Atraksi yang melibatkan puluhan pasang petarung itu akan berlangsung sekitar tiga jam terus-menerus, diiringi Gending Mekara-kara.

"Perang pandan" pun berakhir dengan meninggalkan daun pandan yang berserakan di lapangan dan kucuran darah yang ada di tubuh peserta "perang".

Uniknya, dalam "perang" itu tidak ada kelompok yang kalah dan tidak ada yang menang. Dendam kesumat dan luapan emosi untuk membalas atas luka yang diderita tidak ada, apalagi ingin saling membunuh.

Begitu perang pandan berakhir, para pemuda yang semula saling melukai justru tertawa-tawa dan saling berangkulan, bahkan beberapa di antaranya ada yang kongkow-kongkow bersama sambil menghirup sebatang rokok.

Itulah gambaran yang terjadi dalam sebuah perayaan ritual yang dinamakan "perang pandan" yang hanya bisa ditemui dan dilakukan di Tenganan, Kabupaten Karangasem, 78 kilometer timur laut Kota Denpasar.(I006/P004)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010