Bagi warga Indonesia pada umumnya, terutama penggemar sepak bola, nama Namibia mungkin tidak sepopuler Afrika Selatan yang baru saja sukses menjadi penyelenggara Piala Dunia 2010. Atau Kamerun yang sudah jadi langganan peserta putaran final pesta sepak bola terbesar di dunia itu.

Banyak yang menyatakan keheranan ketika ANTARA menyatakan akan berkunjung ke negara tersebut usai Piala Dunia 2010 yang berakhir 11 Juli lalu.

"Namibia? Untuk apa ke sana? Memang di sana apa yang menarik?", begitu umumnya pernyataan heran yang disampaikan banyak orang saat menyebut negara tersebut.

Namun setelah mendarat di bandara internasional Hosea Kutako, Windhoek beberapa waktu lalu, ternyata tidak banyak perbedaan yang mencolok antara Namibia dan Afrika Selatan, terutama yang berhubungan dengan infrastruktur jalan.

Namibia memang sebuah negara muda karena baru mendapatkan kemerdekaan dari Afrika Selatan pada 1990, sehingga tidak banyak perbedaan fasilitas infrastruktur antara kedua negara itu.

Negara tersebut berbatasan dengan Angola dan Zambia di utara, Botswana di timur, dan Afrika Selatan di selatan.

Kecuali bandara internasional yang lebih kecil dan sederhana, jalan-jalan di hampir seluruh Namibia juga lebar-lebar dan mulus. Hampir tidak ditemukan sedikit pun jalan berlubang, apalagi yang berlumpur pada setiap jaringan jalan raya yang menghubungkan antarkota.

Sebagai sebuah negara dengan luas lebih dari Pulau Kalimantan, Namibia seolah-olah sebuah daratan kosong karena hanya berpenduduk 2 juta jiwa, atau rata-ratanya hanya dua orang untuk setiap satu kilometer persegi.

Kondisi tersebut menempatkan Namibia sebagai negara dengan penduduk terjarang kedua dunia setelah Mongolia.

Berada jalan utama di ibu kota Windhoek yang hanya berpenduduk sekitar 200.000 jiwa, pengendara seolah-olah berada di Jalan Thamrin atau Jalan Sudirman di Jakarta pada saat Lebaran, lengang dan hanya terlihat satu dua orang yang lalu lalang di jalan.

Kemacetan lalu lintas adalah kejadian langka, kecuali jika terjadi kecelakaan lalu lintas. Tidak mengherankan jika infrastruktur jalan di negara tersebut seperti menjadi surga bagi pengendara kendaraan bermotor. Begitu lancarnya lalu lintas, dan semua orang bisa memperkirakan lama perjalanan saat menuju suatu tempat.

Jalan raya yang lebar dan mulus di luar kota, bisa membuat pengendara jadi terlena karena memacu mobil dengan kecepatan di atas 120km per jam, yang berarti melebihi batas maksimal yang ditetapkan.

Berkali-kali polisi lalu lintas mengingatkan Muhammad Rafiq, staf lokal Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Namibia, melalui bahasa isyarat untuk mengurangi kecepatan mobil yang dikendarainya karena spedometer menunjukkan angka 140km per jam saat dalam perjalanan dari kota pantai Swakopmund menuju ibu kota Windhoek.


Belum Dikenal

Leonardus Widiyatmo, Duta Besar Republik Indonesia untuk Namibia dalam perbincangan dengan ANTARA di Windhoek beberapa lalu mengakui bahwa negara tersebut belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia, termasuk di kalangan pengusaha.

Menurut Leonardus yang akan mengakhiri masa tugasnya pada akhir 2010, saat ini tidak lebih dari 50 warga Indonesia yang berada di Namibia dan sebagian besar pun berasal dari keluarga KBRI. Sisanya adalah para anak buah kapal (ABK) yang sandar di pelabuhan Walvis Bay, atau mereka yang bekerja di perusahaan asing.

Di kalangan penggemar film Hollywood, Namibia barangkali dikenal hanya berkat film komedi "Gods Must Be Crazy" karena pemerannya Xixau, berasal dari suku asli San (bushman) dan lokasi shooting juga dilakukan di gurun Namibia.

Atau bagi penggemar olahraga, Namibia dikenal sebagai negara asal Frankie Frederick yang pernah menjadi juara dunia lari 100m. Michelle McLean yang pernah dianugerahi gelar Miss Universe pada 1992, juga berasal dari Namibia.

Asingnya negara Namibia membuat negara tersebut tidak menjadi daerah tujuan favorit bagi pelancong dari Indonesia yang cenderung memilih tempat liburan ke Eropa, Amerika, Australia, dan China.

Sebaliknya, Indonesia juga masih asing bagi warga Namibia dan kebanyakan dari mereka selalu menyamakan Indonesia dengan China. Saat ini, terdapat sekitar 10.000 keturunan China yang berdagang di Namibia. Bahkan di Ibu kota Windhoek, sejak beberapa tahun lalu sudah berdiri China Town (pecinan), kompleks pertokoan yang menyediakan hampir seluruh kebutuhan sehari-hari.

Toary Worang, Sekretaris I Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya mengatakan bahwa KBRI Windhoek sudah berusaha memperkenalkan Indonesia di Namibia melalui berbagai pertunjukan kesenian, seperti kolintang dan juga pernah memberikan pelatihan membuat batik bagi kaum wanita.

KBRI juga pernah mengundang seorang wartawan dari harian berbahasa Inggris New Era untuk berkunjung ke Indonesia beberapa bulan lalu dan hasil kunjungan tersebut, tulisan-tulisan tentang keindahan alam Indonesia pun sampai ke tengah-tengah masyarakat Namibia.

"Sudah banyak hal yang dilakukan oleh KBRI Windhoek untuk memperkenalkan Indonesia di Namibia dan demikian juga sebaliknya. Sekarang sudah terjalin kerja sama antara Universitas Namibia dan Universitas Gadjah Mada untuk mengembangkan pertanian padi di Namibia," kata Toary, pria asal Manado itu.

Meski kecil dalam jumlah penduduk, Namibia dengan wilayah yang begitu luas, memiliki banyak sumber alam yang masih terus digali. Ekspor utama mereka adalah berlian, emas, dan uranium.

"Namibia juga mengekspor daging sapi ke Eropa dan negara-negara Arab. Daging sapi di Namibia terkenal bebas hormon karena ternak tersebut dibiarkan bebas mencari makan di padang rumput," katanya.

Industri yang juga memberikan banyak devisa bagi ekonomi Namibia adalah kegiatan pariwisata dengan menjual kekayaan alam seperti safari, memancing, meluncur di padang pasir (sandboarding), serta menjelajahi padang pasir dengan sepeda motor beroda empat (quadbike).

Bahkan lokasi penambangan uranium di Rossing, sekitar 70 km dari utara kota Swakopmund, dijadikan sebagai objek wisata dan banyak dikunjungi turis mancanegara.

Meski pada umumnya masyarakat Indonesia tidak mengenal Namibia, tapi seorang pemuda asal kota Swakopmund bernama Martin yang pernah belajar bahasa Indonesia di Universitas Diponegoro Semarang pada 2007-2008, menceritakan pengalaman yang cukup unik selama berada di Indonesia.

Ia sempat merasa terkesima saat berada di sebuah desa di Jawa Tengah karena ternyata ada penduduk awam yang mengetahui banyak tentang Namibia.

"Saat berada di Semarang, saya banyak bertemu orang-orang berpendidikan tinggi dan hampir tidak ada yang tahu di mana itu Namibia. Tapi saat saya berada di sebuah desa, ada penduduk biasa yang tahu segalanya tentang negeri saya. Sungguh luar biasa," katanya dalam bahasa Indonesia yang sangat lancar.

Martin yang mendapat beasiswa melalui program Darmasiswa itu, mengaku sudah terlanjur mencintai Indonesia dan suatu saat ingin kembali berkunjung ke Semarang.(A032/K004)

Oleh Oleh Atman Ahdiat
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010