Jakarta (ANTARA News) - Tujuh rektor dari perguruan tinggi negeri berstatus badan hukum milik negara menemui Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan beberapa hakim konstitusi untuk meminta kejelasan mengenai status keuangan masing-masing PTN.

"Mereka ingin meminta penjelasan terkait status keuangan masing-masing PTN tersebut. Itu hal yang wajar karena keputusan MK sifatnya umum, sedangkan bapak rektor menghadapi secara spesifik pada perguruan tinggi, dan kemudian ingin diklarifikasi. Kami sudah memberi penjelasan dan pemahaman," kata Hakim Konstitusi Harjono di Jakarta, Selasa, usai pertemuan itu.

Ketujuh rektor perguruan tinggi negeri (PTN) yang menemui pimpinan Mahkamah Konstitusi adalah rektor IPB Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto MSc dan Rektor UGM Prof Ir Sudjarwadi MEng PhD. Selain itu, rektor Universitas Airlangga, wakil rektor UI, wakil rektor USU, wakil rektor IPB dan rektor UPI.

Sementara Rektor IPB Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto MSc mewakili rektor lainnya, mengatakan setelah keputusan MK para rektor memiliki pemahaman yang sama atas putusan MK terhadap perguruan tinggi negeri status BHMN ini.

Menurut Herry, pihaknya telah mendapat pencerahan dari pimpinan MK, khususnya terkait masalah status keuangan PTN berstatus BHMN.

Dia juga mengatakan bahwa para rektor setelah pertemuan dengan MK ini sepakat untuk melakukan konsultasi dengan Menteri Keuangan.

"Kita akan kaji dengan Menkeu melalui Mendiknas, laporkan posisi status hukum, dan cari formulasinya terutama soal pengelolaan keuangan Perguruan Tinggi Negari berstatus BHMN setelah putusan uji materi UU BHP di MK," kata Herry.

Herry juga menjelaskan bahwa pertemuan dengan MK ini telah menjawab berbagai pertanyaan tentang keberadaan PTN berstatus BHMN dalam putusan tidak mempermasalahkan.

"Keberadaan perguruan tinggi BHMN tidak bermasalah, yang penting menyesuaikan UU dalam hal keuangan bahwa BHMN ini," ungkap Herry.

Pada 31 Maret 2010 Mahkamah Konstitusi telah menolak UU nomor 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional) dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

(J008/A041/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010