Jakarta (ANTARA News) - Belum lama ini, dalam status Facebook-nya, seorang kawan mengutipkan hadis Nabi Muhammad SAW berikut, "Allah mendatangi seluruh makhluk-Nya pada malam Nishfu Syaban. Dia pun mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan."

Satus itu tampaknya sengaja dipajang sang kawan menjelang pertengahan Syaban.

Jika hadis itu sahih, maka itu adalah kemauan Allah yang maknanya "luar biasa" bagi makhluk, yakni tatkala Sang Pencipta "mendatangi" Ciptaan-Nya.

(Tanda kutip "luar biasa" sengaja ditambahkan karena sesuatu yang luar biasa bagi kita, para manusia kecil, lemah dan fana adalah justru "sangat biasa" dan tentu amat mudah bagi Sang Maha Kuasa).

Saya ingin sedikit berbagi dahulu dengan Anda bahwa pertengahan (nishfu) Syaban memang hari istimewa, karena saat itu adalah "ulang tahun" seorang wali Allah teramat mulia, yakni Imam Muhammad al-Mahdi, putra Imam Hasan Al-Askari, `alaihis salam (a.s.)

Bagi kita yang Sunni, Imam Mahdi belum lahir ke dunia, tapi bagi saudara kita yang Syiah, Muhammad bin Hasan Al-Askari itu adalah sang Imam Mahdi.

Digelari Abul-Qasim, Imam Mahdi lahir pada 15 Syaban 255 H (bertepatan dengan 869 M) di Samarra, salah satu dari empat kota suci Syiah di Irak.

Pada 836 M, Khalifah` Al-Mu`tasim dari Wangsa Abbasiyah memindahkan ibukota dari Baghdad ke Samarra, sekitar 125 km di utara Baghdad.

Bekas-bekas Samarra kuno pertama kali digali antara 1911 dan 1914 oleh arkeolog Jerman, Ernst Herzfeld. Buku-buku catatan, surat-surat dan laporan hasil ekskavasi dan berbagai foto Samarra disimpan di Freer Gallery of Art, Washington DC, Amerika Serikat.

UNESCO pada 2007 menetapkan Samarra sebagai salah satu Situs Warisan Dunia.

Menurut kepercayaan Syiah, Imam Mahdi menjadi imam hingga datangnya Hari Kiamat. Agak aneh karena ternyata kebanyakan ulama hadis dari kaum Sunni yang meriwayatkan Imam Mahdi menganggap sang imam belumlah lahir.

Mau percaya atau tidak, itu urusan masing-masing. Yang jelas, kita sekarang hendak menilik lebih jauh pada frasa di atas, bahwa "Allah `mendatangi` hamba-Nya, pada malam Nishfu Syaban."

Hadis yang dirawikan Mu`adz bin Jabal di atas membuat kita mengerenyitkan dahi untuk berpikir bagaimana Allah "mendatangi" makhluk-Nya.

Saya tidak tahu apa yang Anda pikirkan, tapi saya sempat merenungi maknanya.

Kata "mendatangi" mestinya tak bisa dilihat sebagai bentuk kata kerja, fi`il mudharik dalam bahasa Arab atau "active present tense" dalam Bahasa Inggris yang fisikal sifatnya seperti ketika saya menemui Anda di rumah atau Cafe Little Baghdad, Kemang. Itu justru mesti dipersepsikan secara abstrak atau transendental.

Ketika mencoba menghubungkannya dengan teknologi jaman sekarang, secara sederhana saya menganalogikannya dengan pancaran gelombang radio atau WiFi, atau GPRS handphone yang karena kecanggihannya sekarang sudah bisa diakses, bahkan dari desa-desa di pelosok negeri.

Nah, kalau Nokia atau Blackberry saja bisa bikin yang seperti itu, tentunya Sang Maha Pencipta terlalu mudah melakukan hal yang sama kapan saja, di mana saja, dan bagi siapa saja.

Bedanya, kalau `pancaran` kedatangan gelombang lewat Nokia dan Blackberry itu harus dibayar, maka gelombang "cahaya" atau "rahmat" Sang Sumber Cahaya (Nur) dipancarkan secara gratis, meski bukan tanpa syarat.

Sampai di sini, pikiran nakal masih menggelitiki otak saya, terjemahan kata nur yang selama ini kita pahami sebagai "cahaya" jangan-jangan kurang pas.

Boleh jadi, saat orang menerjemahkan kata nur di zaman kuno, hanya kata "cahaya"-lah yang tersedia dalam diksi ahli bahasa.

Sekarang, saat banyak terminologi baru yang berkaitan dengan teknologi mutakhir muncul, bolehkah kita mengartikannya dengan sesuatu yang mungkin lebih tepat seperti sinyal, atau gelombang magnet, atau roaming?

Atau Anda punya sinonim lain yang lebih kena? Wallahu`alam.

Selamat Nishfu Syaban.

*)Direktur Marketing Public Relations Universitas Paramadina

A017/T010/AR09

Oleh Syafiq Basri Assegaff*)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010