Ilustrasi - Anak-anak menggunakan masker wajah di tengah pandemi corona. ANTARA/Shutterstock/am.

Mutasi virus COVID-19-19 intai anak dan remaja

Prof Dr dr Aman Pulungan, SpA(K), Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia, mengingatkan bahwa bahaya mutasi virus ini mengintai anak dan remaja. Outbreak yang terjadi di Italia, Belanda, Prancis, India, serta Malaysia, menunjukkan adanya peningkatan infeksi COVID-19 pada anak dan remaja.

Berdasarkan data British Medical Journal (BMJ 2021: 372, n 383), pada Januari 2021, jumlah anak dan remaja yang terinfeksi COVID-19 di Israel meningkat pesat sejak merebaknya varian B.1.1.7 Proporsi kasus pada pasien usia di bawah 10 tahun meningkat hingga 23 persen. Bahkan Israel juga telah membuka ruang ICU khusus COVID-19 pada anak. Di Corzano-Italia, ditemukan sebagian besar warga yang terinfeksi COVID-19 adalah anak usia Sekolah Dasar atau lebih muda.

Di kota kecil Lasingerland - Belanda, dari sekitar 818 guru, murid, staf sekolah yang diperiksa, ditemukan 123 kasus positif dengan 46 diantaranya merupakan varian mutasi virus baru B.1.1.7. Banyak kasus ditemukan juga di komunitas yang terkait dengan outbreak tersebut.

Baca juga: Wapres: Larangan mudik demi keselamatan bersama

Outbreak yang terjadi di sejumlah negara tersebut menunjukkan kewaspadaan dalam pembukaan sekolah. Langkah mitigasi risiko seperti implementasi sistem "bubble", penggunaan masker, ventilasi yang baik dengan jumlah murid yang dibatasi, serta screening berkala untuk guru, murid serta staf sekolah sangat penting untuk dilakukan. Prof Dr dr Aman Pulungan, SpA(K) juga menegaskan semestinya kasus di negara lain menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk tidak membuka sekolah tatap muka (luring) jika tidak sesuai anjuran IDAI dan organisasi profesi kesehatan, serta bagi fasilitas pelayanan kesehatan agar mulai menyediakan ruang ICU COVID-19 khusus anak dan remaja.

Sementara itu, dr Mahesa Paranadipa Maikel, MH, Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia yang juga pakar hukum kesehatan, menyerukan bahwa meski dalam suasana libur, namun potensi bencana masih mengintai, diantaranya karena dipicu curah hujan yang berkepanjangan.

Baca juga: Polri libatkan anggota bersenjata di pos penyekatan jamin keamanan

Dengan adanya potensi penambahan kasus akibat mutasi virus harusnya dapat segera diantisipasi oleh semua pihak. Mobilisasi orang baik di dalam negeri maupun dari luar negeri akan sangat berisiko menambah kasus-kasus baru. Beberapa kejadian yang memperlihatkan mobilitas pemudik yang tidak dapat dikendalikan juga harus ditanggapi serius.

"Pemerintah harus lebih tegas menyikapi situasi-situasi yang hari ini masih menunjukkan belum ada pengendalian yang belum dapat mempercepat Indonesia bebas dari pandemi, padahal situasi darurat kesehatan masyarakat akibat COVID-19 belum dicabut oleh Presiden," kata dr Mahesa.

Selain itu dr Mahesa juga menyoroti maraknya hoaks mengenai COVID-19, vaksinasi, dan situasi pandemi yang beredar di tengah masyarakat.

“Pengelolaan informasi hoax juga harus dapat ditindak dengan tegas karena dampaknya terhadap situasi di tengah masyarakat," tutup dr Mahesa.

Pemerintah secara resmi telah melarang masyarakat untuk melakukan mudik Lebaran 2021. Larangan itu tertuang dalam Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan COVID-19 No. 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik pada Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah yakni pada tanggal 6-17 Mei 2021.


Baca juga: Satgas COVID-19 minta kegiatan komunitas di RT/RW diawasi ketat

Baca juga: Polisi tangkap empat pemudik provokator terobos barikade di Bekasi

Baca juga: PLN: Larangan mudik picu kenaikan beban listrik selama libur Lebaran

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021