Colombo (ANTARA News) - Para diplomat Indonesia di Srilanka, Senin (16/8), memenuhi undangan "Dialog", sebuah perusahaan telekomunikasi Malaysia, di Srilanka.

Hari itu dialog disertai dengan acara buka puasa bersama di "ballroom" Hotel Hilton Colombo.

Para diplomat, pelaku bisnis, dan tokoh-tokoh muslim setempat menghadiri acara buka puasa yang rasanya masih kalah menarik dari acara-acara buka puasa bersama di Indonesia, meski memang jauh lebih megah.

Ustad Safiuddin, tamu Kedubes Indonesia di Colombo yang diundang khusus dari Jakarta untuk memberi siraman rohani kepada keluarga besar Kedubes RI di Srilanka, tampak antusias mengikuti khutbah yang sebagian disampaikan dalam bahasa Arab.

"Dia menggunakan bahasa Arab dan bahasa sini (Tamil atau Sinhala)," bisiknya kepada ANTARA.

Asal Anda tahu, kaum muslim Srilanka memakai bahasa Tamil sebagai bahasa pergaulan mereka.

Meski muslim bisa berasal dari Sinhala, Tamil, Melayu atau lainnya, dengan segera keetnisan mereka diganti menjadi "muslim" begitu mereka diketahui beragama Islam. Seolah-olah muslim adalah salah satu nama etnis.

Waktu buka puasa segera tiba. Para pelayan menaruh hidangan, di antaranya semangkuk kaldu putih berbau merangsang selera, "konji".

Rasanya gurih dan senikmat bubur ayam Sukabumi di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Bedanya, lebih kental oleh potongan daging ayam kecil-kecil dan santan, serta aroma yang lebih harum.

Hidangan lainnya segera disajikan, dari semacam sate ikan tuna, pastel isi daging mirip bakwan Malang, hingga bulatan-bulatan terigu campur daging yang disatukan menyerupai baso yang disate.

Ternyata, ada banyak masakan Indonesia yang diadopsi oleh menu kuliner modern Srilanka.

Mengenai soal itu, presenter Prime TV, Neidra Williams yang mewawancarai Duta Besar RI di Colombo Djafar Husein sehari setelah buka puasa, mengakui bahwa banyak menu masakan Srilanka mengadopsi masakan khas Indonesia, seperti nasi goreng.

Nasi goreng dengan kemasan tak jauh berbeda dari di Indonesia, turut menjadi menu berikutnya buka puasa bersama di Hotel Hilton Colombo itu.

Tapi sebelum makan besar itu, seluruh peserta buka puasa bersama, menunaikan dahulu shalat magrib berjemaah di satu aula besar di hotel itu.


Gujarat

Waktu itu, rombongan diplomat Indonesia dipimpin langsung Dubes Djafar Husein. Mereka menduduki dua meja di barisan depan ruangan utama tempat acara dilangsungkan.

Djafar duduk semeja dengan duta besar Malaysia dan para diplomat asing senior lainnya. Di meja satunya lagi, sejumlah diplomat RI mengelilingi meja yang juga diisi tokoh-tokoh muslim Srilanka.

Beberapa detik setelah waktu buka puasa tiba, seorang pria bergamis biru bercelana putih menduduki satu kursi kosong di antara mereka. Pria ini mengenakan peci putih.

"Anda juga dari Indonesia?" sapanya kepada ANTARA yang duduk lebih dulu dan pas di sampingnya.

Ironisnya, pria bertutur halus yang tampak dari ras kaukasoid itu tak memperkenalkan namanya, kendati ANTARA berusaha mengoreknya.

"Saya sering ke Indonesia. Negeri yang indah," puji lelaki berumur sekitar 50-an itu.

Dia mengaku keturunan Gujarat, India, tempat dari mana sebagian para penyebar Islam di Indonesia berasal. Dia sendiri, seperti para penyebar Islam di Indonesia yang notabene nenek moyangnya, adalah pedagang.

Tak berapa lama Presiden Sri Lanka Indonesia Friendship Association, Tony Saldin, membisiki Abdullah Zulkifli, Sekretaris Kedua Penerangan dan Sosial Budaya Kedubes RI di Colombo.

"Dia tokoh Bohra," kata Tony pelan-pelan kepada Zulkifli, menunjuk sang pria bercambang rapi yang berbincang dengan ANTARA tersebut.

Apa itu Bohra? Tanya ANTARA dalam hati. Pertanyaan itu baru terjawab sehari kemudian.

Zulkifli mengisahkan pengalaman uniknya setahun lalu dengan komunitas muslim satu ini, satu pengalaman yang mungkin tidak akan lekang dari ingatannya.

Saat itu Zulkifli sedang mencari mesjid yang menyelenggarakan salat Ied, karena waktu Idul Fitri di Srilanka berbeda dari bagian dunia lainnya.

Zulkifli lalu melihat sekelompok orang berpakaian muslim masuk beriringan ke satu bangunan berbentuk mesjid. Zulkifli mengikuti mereka, dengan harapan bisa ikut salat Ied di mesjid itu.

"Tahunya saya tidak diperbolehkan salat di situ," ujar Zulkifli, disusul derai ketawa lepas.


Bohra

Sehari kemudian ANTARA ditunjukkan Zulkifli kepada mesjid itu, yang ternyata terletak di Adamaly Place, satu sudut eksotis kota Colombo.

Mesjid yang atmosfernya berdominankan warna krem ini memang artistik, apalagi depannya menghadap pantai barat Srilanka yang menatap Samudera India. Tapi ini mesjid sama sekali berbeda dari umumnya mesjid, karena demikian tertutup dan eksklusif.

"Ini mesjid Bohra," kata Zulkifli.

"Bohra" berasal dari kata dalam Bahasa Gujarati, "Vehwahar", yang berarti "berdagang" atau "bersungguh-sungguh dalam bekerja."

Mereka percaya ajaran mereka diturunkan dari imam ke-21, Tayib al Qassim yang diklaim mereka ada dalam jalur silsilah Nabi Muhammad SAW dari garis anak perempuan Rasulullah, Fattimah az-Zahra.

Sekte ini berdiri sejak Dinasti Fatimiyah menguasai Mesir dari 910 M sampai 1171 M. Hingga kini mereka mengikuti praktik-praktik yang diajarkan para imam Fatimiiyah yang syiah itu.

Pengaruh era Fatimiyah terasa sekali, sampai arsitekur mesjid dan bangunan-bangunan yang didirikan salah satu sekte Syiah Ismailiyah itu, termasuk Mesjid Bohra di Adamaly Place, Colombo, itu.

Sangat berbeda dari umat Islam umumnya, Bohra menambahkan "taharah" dan "jihad" pada lima rukun Islam, yaitu syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji.

Oleh karena itu, dewan fatwa Lajnah Daimah yang berpusat di Arab Saudi dan ulama-ulama Mesir menyebut sekte ini sesat.

Mereka sendiri tampak menitikberatkan ajaran pada niaga. Di Srilanka, mereka dikenal sebagai komunitas pedagang andal.

Beberapa tahun belakangan, mereka juga menggeluti profesi-profesi lain seperti dokter, akuntan, dan pengacara.

Menurut Sunday Times, dengan jumlah pemeluk diperkirakan sekitar sejuta orang di seluruh dunia, termasuk Srilanka, Bohra adalah komunitas Muslim paling terorganisasi dan makmur dibandingkan komunitas Muslim mana pun. (*)
(T.AR09/H-KWR/R009)

Oleh Jafar Sidik
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010