Ungaran (ANTARA News) - Para peternak sapi warga Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, mulai beralih menggunakan kompor biogas dari kotoran sapi, karena selain biayanya murah, juga tidak berbahaya seperti penggunaan tabung LPG.

Ketua Kelompok Tani Subur Rejeki, warga Dusun Ngipik, Desa Candi, Yabani (43) di Ungaran, Jumat mengatakan, selain irit, biogas juga tidak membahayakan seperti yang ditakutkan oleh ibu-ibu rumah tangga yang menggunakan LPG selama ini.

"Harga LPG di sini mahal. Kami sebagai petani tidak mampu membeli, akhirnya kami membuat biogas," katanya.

Beberapa warga yang tergabung dalam kelompok ini menempatkan sapi peliharaannya dalam satu kandang besar yang letaknya berada di tengah dusun, agar keamanannya juga terjamin.

Ia menjelaskan, kandang sapi dengan posisi lantai dengan sedikit kemiringan memudahkan kotoran sapi maupun air kencing sapi langsung mengalir menjadi satu dalam sebuah selokan kecil.

Menurut dia, agar kotoran sapi itu sampai ke bak penampungan (digester) berukuran 3x 4 meter dengan daya tampung 17 ribu liter gas tersebut harus dilakukan dengan penyemprotan.

"Untuk satu ember kotoran sapi, dicampur dengan air satu ember, jadi perbandingannya satu banding satu," katanya.

Menurut dia, pembuatan digester mirip dengan pembuatan kubangan kotoran manusia (septik tank). Digester dibuat dengan dua bak penampung. Digester yang satu fungsinya sebagai tempat produksi gas, seluruh kotoran yang masuk ditutup rapat dengan klep, agar gas tidak bocor.

Ia menambahkan, untuk bak penampung yang lain, berfungsi sebagai outlet, atau penampung endapan kotoran sapi. Dan jika telah penuh, endapan tersebut diambil untuk dijadikan pupuk tanaman sayuran.

Untuk mengalirkan gas dari digester, dipasang pipa panjang lengkap dengan alat pengatur tekanan gas.

"Modelnya seperti regulator dengan alat ukur, namun modelnya sederhana, yakni dengan pipa plastik yang diberi air dengan posisi tegak dan di sebelahnya ada angka pengukur. Jika sampai angka 60 bahkan 100, berarti tekanan gasnya tinggi," katanya.

Melalui instalasi pipa, kata dia, gas dari digester tersebut langsung dialirkan ke rumah warga. Menurutnya, sampai saat ini baru enam rumah warga yang menggunakan biogas, karena untuk ukuran digester tersebut baru mampu memenuhi enam kepala keluarga yang letaknya dekat dengan posisi digester.

"Meskipun kemampuan tekanan gas maksimal bisa mengalir hingga radius 500 meter, namun kami belum memaksimalkan penggunaan, kedepan kami akan mengembangkan lebih baik, dengan mengalirkan biogas ini ke seluruh rumah warga," katanya.

Dia berharap pemerintah dapat membantu pengembangan energi alternatif itu, karena selain gas yang dihasilkan bermanfaat baik untuk memasak maupun menyalakan lampu, limbah hasil proses ini dapat digunakan untuk pupuk organik.

"Penggunaan pupuk organik ini menjawab atas masalah-masalah kelangkaan pupuk dan kenaikan harga pupuk yang sering dikeluhkan para petani," katanya.

Salah seorang pengguna energi biogas di Desa Candi, Sri Haryati (25), mengatakan, ia lebih merasa nyaman saat memasak untuk keluarganya dengan biogas, karena selama menggunakan LPG ukuran 3 kg merasa khawatir jika meledak.

"Saya lebih nyaman memasak dengan biogas, selain irit, juga bisa dimanfaatkan untuk menyalakan lampu petromaks," katanya. (ANT063/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010