Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo meminta Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menjelaskan kepada DPR mengenai remisi yang diberikan Presiden kepada sejumlah koruptor.

"Menkumham sudah memberi banyak penjelasan kepada pers tentang remisi kepada para koruptor. Tetapi, bagi Komisi III DPR, semua penjelasan itu belum cukup. Kami butuh penjelasan yang lebih detail atas setiap narapida korupsi yang menikmati remisi," kata Bambang, Jakarta, Minggu.

Ia mengatakan, Komisi III DPR akan mempertanyakan kepada Menkumham Patrialis Akbar perihal `obral` remisi pemerintah yang juga dinikmati narapidana korupsi.

"`Obral remisi itu mengoyak-ngoyak rasa keadilan rakyat, apalagi melihat Aulia Pohan dan kawan-kawan sampai bisa menikmati bebas bersyarat," kata politisi Golkar itu.

Menurutnya, derajat kepercayaan rakyat terhadap kesungguhan pemerintah menegakkan hukum di negara ini sudah menembus batas psikologis alias di bawah titik nol alias minus.

"Tidak ada gunanya para pembantu presiden menutup-nutupi peran dan fungsi presiden. Penegasan bahwa `presiden tak ikut campur` dalam pembebasan bersyarat itu tak akan menggugurkan asumsi dan persepsi publik," katanya.

Bagi dirinya dan orang kebanyakan, obral remisi oleh pemerintah baru-baru ini adalah sebuah ketelanjangan praktik ketidakadilan. Kalau ketidakadilan sudah dipraktikkan tanpa malu-malu lagi, pemerintah sudah kehilangan hak untuk sekadar mengharapkan kepercayaan rakyat atas penegakan hukum di negara ini.

"Bagaimana mungkin rakyat bisa mengharapkan keadilan dari mereka yang jelas-jelas telah mempraktikan ketidakadilan? Komitmen pemerintah atas penegakan hukum pun sudah gugur karena `obral, remisi bagi para koruptor itu," kata Bambang.

Pada 18/8 lalu, Aulia Pohan bersama tiga mantan Deputi Bank Indonesia lainnya, Maman H Somantri, Bun Bunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin juga kini berstatus sama.

Aulia divonis empat tahun enam bulan oleh Majelis hakin Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) atas kasus penyelewengan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp100 miliar pada 2003.

Ia juga dijatuhi hukuman denda sebesar Rp200 juta subsider enam bulan kurungan. Menurut majelis hakim Tipikor, Aulia Pohan dan rekan-rekannya terbukti bersalah telah memperkaya orang lain.

Hal itu sesuai dengan dakwaan primer yakni Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

Namun demikian, keempat terdakwa itu tidak diharuskan mengganti kerugian negara sebesar Rp 100 miliar, karena tidak terbukti memperoleh sesuatu ataupun keuntungan dari pengeluaran uang lewat YPPI tersebut.

Pada tingkat kasasi, Aulia Pohan telah mendapatkan pengurangan hukuman dari Mahkamah Agung dari empat tahun penjara menjadi tiga tahun penjara dan denda Rp200 juta. Pengurangan tahanan tersebut ia peroleh pada Maret 2010.

(ANT/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010