Bogor (ANTARA News) - Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Prof Dr Meutia Hatta Swasono mengakui sulit untuk mengurangi konsumsi beras dan mie instan di Indonesia karena kedua bahan pangan tersebut sudah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat.

"Beras sekarang ini sudah menjadi bahan pangan superior. Dan mie instan menjadi food habit (kebiasaan pangan) baru bagi generasi muda, meski biaya produksinya sangat mahal," kata Meutia dalam seminar nasional diversifikasi pangan di Bogor, Jawa Barat, Selasa.

Oleh karenanya, lanjut dia, mengurangi konsumsi beras dan mie instan secara drastis dalam upaya diversifikasi pangan bukanlah kebijakan yang tepat.

Sejak Indonesia mencapai swasembada beras, lanjut dia, makin banyak penduduk yang semula mengkonsumsi makanan pokok nonberas menjadi pengkonsumsi beras.

Masalahnya kemudian, produksi beras terganggu oleh makin sempitnya areal sawah sementara jumlah penduduk terus meningkat.

"Dalam kenyataannya tidak mudah untuk mengembalikan pola makan masyarakat untuk kembali mengkonsumsi makanan pokok nonberas," katanya.

Meutia mencontohkan hasil penelitian terhadap warga di tiga desa pemakan sagu di Kecamatan Petasia, Kabupaten Poso pada 1986. Warga setempat menganggap sagu sebagai makanan untuk bekerja sedangkan nasi dianggap makanan untuk pesta atau pada acara istimewa.

Untuk mengubah pola konsumsi masyarakat yang telah terbentuk secara budaya tersebut, lanjut dia, diperlukan campur tangan pemerintah.

"Karena masalah kebiasaan makan adalah masalah ketahanan pangan bangsa. Jika kita kurang tepat dan cermat mendesain pengadaan makanan, terutama makanan pokok bangsa, akibatnya dari segi sosial budaya, ekonomi dan politik akan sangat berat," katanya.

Menurut Meutia, langkah yang lebih tepat untuk mempromosikan diversifikasi pangan adalah dengan memperkaya menu sehari-hari dengan produk makanan berbahan nonberas serta memodifikasi bahan-bahan untuk produk mie instan.

Sementara itu, ahli gizi kuliner Tuti Soenardi mengatakan, diversifikasi pangan bisa didorong dengan memanfaatkan selera masyarakat setempat.

"Karena perilaku makan itu sangat dipengaruhi oleh budaya dan kebiasaan orang tua," katanya.

Tuti mengatakan, sosialisasi untuk masyarakat agar beralih ke pangan nonberas yang dilakukan pada tahun 2000, telah gagal.

"Masyarakat tetap saja menganggap belum makan rasanya kalau belum makan nasi," katanya.

Disamping itu bahan pangan nonberas umumnya tidak tahan lama jika tidak dibuat dalam bentuk tepung, dan masyarakat sudah melihat produk makanan nonberas sebagai jajanan, kata Tuti.

(ANT/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010