Jakarta (ANTARA News)- Kicauan burung memanggil-manggil dari hutan, menggema di tengah reruntuhan pintu-pintu masuk yang gelap  sekaligus  mengundang para peneliti dan penjelajah selama bertahun-tahun.

Tim arkeolog internasional kini menyadari komunitas Maya kuno yang membangun reruntuhan Kiuic tampaknya meninggalkan pintu-pintu itu dengan terburu-buru. Meninggalkan petunjuk-petunjuk tentang peradaban mereka yang telah beku oleh waktu.

"Mengapa mereka pergi? Itu pertanyaannya," kata George Bey, seorang arkeolog dari Millsaps College di Jackson, Missisipi, Amerika Serikat.

Orang-orang Maya kuno meninggalkan Kiuic, yang terletak di Puuc, di kaki bukit Yucatan, sekitar tahun 880.

"Segalanya sedang berlangsung dengan kecepatan penuh, pembangunan sedang berjalan, tetapi mereka tiba-tiba berhenti," Bey bimbang.

Para arkeolog telah menjelajahi reruntuhan Kiuic lebih dari satu abad tetapi mulai bekerja di sana sejak tahun2000 dan Bey bersama rekan-rekannya telah menemukan sebuah bukti pertama dari situs yang ditinggalkan secara terburu-buru itu.

Orang Maya kuno menghuni rimba di dataran rendah Amerika Tengah selama Zaman Kegelapan di Eropa dan membangun peradaban yang terdiri dari piramida, istana, serta bertani dengan menebang dan membakar hutan lalu mulai menanam di lahan yang ditutupi abu.

Orang Maya memerintah negara-negara kota yang berperang satu sama lain, menciptakan sistem penanggalan yang rumit selama berabad-abad.

Ditinggalkannya monumen-monumen yang bertebaran terpusat itu merupakan salah satu misteri arkeologi yang paling diperdebatkan.

Kemunduran sedang terjadi di wilayah yang dikenal sebagai Guatemala di dunia modern pada tahun 800, tetapi sebenarnya belum melanda Kiuic sampai hampir seratus tahun kemudian.  

Awet Seperti Pompeii
Jauh di utara, di pusat peradaban seperti Mayapan, piramida-piramida dan kuil-kuil masih berfungsi sampai kedatangan para 'conquistador' Spanyol di tahun 1500an.

Orang Maya tetap bertahan, jutaan populasinya kini menetap di Amerika Tengah, dari El Savador sampai Meksiko.

Para peneliti masih terpesona dengan reruntuhan di Kiuic yang masih menyisakan jejak-jejak terakhir pelarian para pembangunnya dalam gaya Maya, mirip peristiwa yang terjadi pada Pompeii di zaman Romawi.

Setelah terabaikan dan ditumbuhi tumbuhan liar selama berabad-abad, beragam petunjuk kini menggoda untuk diungkap.

Pertama adalah  dinding-dinding, yang dibangun dengan sempurna lengkap dengan tiang-tiang sudut dan kubah batu, yang tergeletak di tanah dan siap untuk ditegakan di lantai dua dari sebuah istana.

Berikutnya adalah sebuah lapangan (plaza) setengah jadi, salah satu sisinya telah diplester dengan sempurna dan sisi yang satunya lagi terbuat dari batu-batu seukuran bola bowling.

Terakhir adalah pot dan batu-batu penggilingan yang ditinggalkan dengan rapi dalam rumah-rumah, seakan menunggu pemiliknya kembali.

Di Kiuic, "bukti bahwa reruntuhan itu ditinggalkan dengan buru-buru kini kelihatan semakin menarik," kata Takeshi Inomata dari  University of Arizona-Tucson, pemimpin upaya penyelidikan Aguateca Maya di Guatemala, situs yang tiba-tiba ditinggalkan selama peperangan pada 830.

"Ini adalah penemuan yang sangat penting," tukas Inomata.

Puma-Puma, sejenis macan asli setempat, berkeliaran di hutan lebat yang menutupi jalan ke luar Kiuic. Bebatuan yang hancur di bawah kaki bukit yang penuh pepohonan mengancam pengunjung yang melewati hutan.

Setelah sebuah tangga dari batu kelihatan, Escalero al Cielo (Tangga Menuju Surga), maka itulah jalan menuju ke halaman sebuah kuil yang telah runtuh, sementara sejumlah rumah menanti di ketinggian 200 kaki.  

"Pendakian itu menjauhkan situs itu dari para penjarah dan juga beberapa arkeolog yang sudah tua," kata Tomás Gallareta Negrón dari National Institute of Anthropology and History, Meksiko.

Bersama Bey dan William Ringle dari Davidson (N.C.) College, ia menjadi direktur penelitian situs itu. Gallareta telah merintis sebuah usaha untuk mengubah situs itu menjadi situs purbakala dan pusat studi.

Kiuic telah dikunjungi oleh para arkeolog setidak-tidaknya sejak 1841, ketika John Lloyd Stephens sang Penjelajah Amerika, menuliskan catatan tentang situs itu dalam bukunya 'Incident of Travel in Yucatan', sebuah buku 'best seller' sebelum pecahnya perang dunia.

Beberapa bangunan yang dicatatnya pada saat itu masih berdiri hingga kini, seperti piramida Yaxche yang terdiri dari tiga tingkat dan istana Kuche.

Tetapi kini yang menjadi perhatian dari para arkeolog adalah perumahan yang terletak dekat Escalero al Cielo.

Selama penggalian tahun lalu, para arkeolog menemukan tembikar dan alat-alat dari batu yang ditinggalkan di dalam rumah, termasuk dapur seorang petani kaya yang 'bertengger' di pinggir bukit.

Batu penggiling jagung yang disebut 'metates' masih terletak di samping pintu, tampak siap untuk mempersiapkan makanan.

Pada bulan Juni penggalian-penggalian menemukan lebih banyak lagi tembikar yang tergeletak rapi di dalam sisi kiri rumah sang petani.

Di bawah lantai ruang utama, para peneliti menemukan situs yang berisi dua kuburan.

"Kami pikir itu adalah kuburan nenek moyang," kata Stephanie Simms dari Boston University. Kuburan itu diatur sesuai dengan kebiasaan di masa Maya kuno.

"Mereka tentu layak mendapat perlakuan khusus," ujar Simms sembari menjelaskan manik-manik giok dan berbagai peralatan rumit yang dikubur di sana.

"Orang-orang meninggalkan bukit ini dengan tergesa-gesa, mereka tidak membawa apa pun bersama mereka, banyak artefak yang ditemukan," Simms melanjutkan.

"Kepergian yang tiba-tiba jarang ditemukan oleh para arkeolog. Informasi baru tentang Kiuic memberikan sesuatu yang baru tentang keruntuhan peradaban Maya," kata Rani Alexander, dari New Mexico State University-Las Cruces.

Kekeringan, wabah penyakit, perang, hama jagung, tanah yang tidak lagi subur, hampir semua teori dikembangkan untuk menjelaskan kejatuhan Maya.

"Maya bukan cuma satu masyarakat. Di sana ada berbagai bahasa dan budaya," kata Ringle.

Petunjuk tentang hal membuat mereka tergesa-gesa pergi dari Kiuic juga merupakan petunjuk bagi kejatuhan lainnya, jadi bukan satu hal yang langsung melenyapkan seluruh pusat Maya yang luas.

Wilayah Puuc memiliki arsitektur yang khas, ditandai dengan kolom-kolom kecil di sepanjang atas dinding atau yang disebut gaya "colonette".

Istana-istana dan kuil memilih gaya klasik Maya yaitu bangunan panjang yang berhadapan satu sama lain di sepanjang plaza tengah.

Pepohonan menjulang tinggi menghalangi bagian depan retuntuhan Kiuic dan menyembunyikan lusinan reruntuhan dari mata para pengunjung.

Tetapi pepohonan itu hanya menyeleimuti puncak bukit sementara lahan di bawahnya dibersihkan untuk dijadikan lapangan dan kebun jagung.

Kini situs itu dipadati pepohonan, tumbuhan, dan kutu dan jejak kotoran burung Walet yang menimbulkan bau busuk yang tajam.

Populasi Kiuic membengkak mencapai 4000 jiwa, tepat ketika Tikal, Copan, dan Aguateca yang berjarak 200 mil di selatan ditinggalkan oleh para penduduknya.

"Tidak disangkal ada beberapa orang yang tiba  tetapi Kiuic telah berdiri selama berabad-abad," bey menjelaskan.

Pertumbuhan itu mendorong para elit setempat berpindah ke Escalero al Cielo, tempat mereka bisa memantau perkebunan mereka.

Sekitar tahun 850 populasi terus bertambah di sekitar kaki bukit Puuc, terutama di Uxmal. Uxmal  kini adalah salah satu situs warisan kebudayaan dunia terletak 20 mil dari Kiuic.

Tetapi, pertumbuhan populasi itu berhenti di kaki bukit Kiuic dan di situs-situs di sekitarnya, yang telah ditinggali sejak tahun tahun 900 Sebelum Masehi."Ketika mereka pergi, mereka tidak pernah kembali," Bey menjelaskan.

"Kami tahu kemana mereka pergi, ada jutaan orang Maya yang kini tinggal di pesisir pantai. Tetapi mengapa mereka pergi dan tidak kembali untuk mengambil barabg-barang yang mereka tinggalkan," Bey penasaran.

Menurut Inomata, perang adalah faktor utama kepergian orang Kiuic. Dibuktikan dari tembok-tembok pertahanan yang mengelilingi situs Agueteca di Guatemala.

Tetapi di Kiuic tidak ditemukan tanda-tanda pertahanan, kecuali tombak yang ditemukan dalam penggalian di plaza utama.

Kemungkinan lain adalah kekeringan berkepanjangan yang kemudian membuat 'choltuns', lubang-lubang gamping yang digali untuk menampung air, kering.

Tetap saja argumen  itu tidak menjelaskan mengapa mereka harus pergi setelah menetap di sana selama 1900 tahun. Choltuns pun baru digunakan beberapa ratus tahun digunakan secara luas di wilayah itu, jadi mereka sebelumnya bisa bertahan tanpa teknologi itu.

Situasi rumah yang rapi di situs dekat Escalero al Cielo menunjukkan perpindahan dengan metode tertentu, bukan karena perang atau wabah.

Seluruh kehidupan Maya kuno berpusat pada ritual penghancuran benda-benda dan rumah tua yang kemudian kembali digunakan untuk menjadi titik dasar pembangunan baru.

Jadi semua gagasan yang menjelaskan penyebab perpindahan itu adalah bencana yang besar sama sekali berlebihan, menurut Alexsander.

Menurut dia orang Kiuic memiliki siklus yang mencakup membangun, pergi, lalu kembali. Sekarang para arkeolog tampaknya harus kembali berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

Sisa pembakaran tembikar di situs perumahan Escalero al Cielo bisa menentukan kapan persisnya tempat itu ditinggalkan dengan menggunakan analisis karbon.

Demikian juga kayu-kayu yang terbakar dan ditinggalkan di situs kuburan seharusnya memiliki umur yang sama dengan pembangunan situs itu.

Tim itu akan terus menyelidiki dan memanfaatkan bukti-bukti baru sebaik mungkin untuk menyingkap petunjuk jatuhnya Kiuic dan peradaban yang lebih luas.

"Kiuic hanya satu dari banyak situs," ujar Bey.

"Tetapi situs ini adalah yang terpenting. Apa yang kami pelajari di Kiuic sangat penting untuk kembali memikirkan kebangkitan dan runtuhnya peradaban Maya di dunia," pungkas Bey.
(Ber/A038/ART)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010