Jakarta (ANTARA News) - Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Latief Adam, mengatakan program penuntasan kemiskinan masih memiliki kelemahan akibat efektivitas anggaran negara dalam menurunkan angka kemiskinan yang semakin berkurang.

Latief di Jakarta, Senin, mengemukakan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada periode 2000-2004 bahwa setiap kenaikan satu persen anggaran mampu menurunkan 0,4 persen kemiskinan. Namun, pada periode 2005-2009 justru menurun menjadi 0,06 persen.

"Artinya, pada periode 2005-2009, semakin tidak efektif anggaran pengentasan kemiskinan. Itu terjadi karena program-program yang ada tidak disesuaikan dengan `political will` yang jelas, komitmen yang kuat. Misalkan untuk membuka akses orang miskin terhadap sumber daya ekonomi," ujarnya.

Menurut dia, penurunan peran anggaran negara dalam mengurangi angka kemiskinan bisa dilihat dari kelemahan dari program-program kemiskinan yang ada saat ini, seperti pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri lebih banyak terkonsentrasi di desa-desa yang relatif maju.

"Kalau bicara PNPM yang menjadi program andalan pemerintah, tingkat kompetitif jadi mengemuka antara hak kompetisi desa miskin dengan desa lainnya. Dari sisi sosial tidak mungkin orang miskin memenangi kompetisi karena merasa imperior," ujar Latief.

Ia menyarankan adanya skema khusus terkait dengan program-program pengentasan kemiskinan yang benar-benar tertuju rakyat miskin dan harus menjadi paket kebijakan yang bersifat holistik, yang tidak hanya melihat dari sisi ekonominya saja, tetapi juga dari sisi sosial.

"Sehingga orang miskin tidak hanya dilihat sebagai fenomena ekonomi, tapi juga fenomena sosial. Harus ada sinkronisasi antara kebijakan kemiskinan dengan, misalnya, kebijakan industri dan pertambangan," ujarnya.

Ia mengatakan kebijakan pemerintah selalu memiliki kelemahan pada tataran implementasi walaupun konsep yang diputuskan sangat baik.

"Kebijakan alokasi subsidi tepat sasaran, (itu) memiliki semangat bagus, tetapi efektivitas mekanisme dan pelaksanaannya disangsikan," ujarnya.

Ia juga menambahkan selama ini program-program pengentasan kemiskinan dinilai tidak sinkron sehingga menutup akses orang miskin terhadap sumber daya ekonomi, seperti kebijakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan harga eceran tertinggi (HET) yang mengurangi daya serap tenaga kerja di sektor industri dan pertanian.

"Saat ini (sekitar) 69 persen dari total tenaga kerja itu berada di sektor informal. Karena akses rakyat miskin untuk masuk ke sektor pertanian dan industri berkurang," ujarnya.

Untuk itu, dia memprediksi kemungkinan angka kemiskinan pada 2014 akan berada pada kisaran 11,9 persen.

"Artinya, target penurunan kemiskinan menjadi 8-10 persen pada 2014. Kalau mengacu 0,54 persen tersebut tidak akan tercapai. Maksimal hanya menjadi 11,9 persen. Untuk bisa mencapai target tersebut, idealnya rata-rata penurunan per tahun 0,8 persen," ujarnya.

Berdasarkan perhitungan LIPI, pada saat orde baru hingga 2004, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap tenaga kerja sekitar 400 ribu-500 ribu jiwa, sedangkan untuk periode 2005-2009 justru menurun hanya sekitar 250 ribu-350 ribu jiwa, atau lebih rendah dari perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) sekitar 400 ribu jiwa.

Sementara itu, Deputi Menko Perekonomian Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Erlangga Mantik mengatakan pemerintah tetap optimistis setiap satu persen pertumbuhan dapat menciptakan lapangan pekerja sebanyak 400 ribu jiwa.

Ia mengatakan angka tersebut menunjukkan peningkatan walau angka indeks ini sempat turun karena sejumlah industri terkena dampak krisis 2008.

"Tapi sekarang kita optimistis karena investasi kita sudah membaik dan industri kita juga sudah mulai tumbuh mencapai empat persen, serta tren ekspor meningkat" ujarnya.
(S034/D007)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010