New York (ANTARA News) - Dino Patti Djalal pertengahan pekan ini resmi menjalankan tugas sebagai Duta Besar RI yang baru untuk Amerika Serikat, setelah sebelumnya dilantik di Jakarta oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Agustus 2010.

Dino, mantan Juru Bicara Kepresidenan bidang luar negeri, pada Kamis (16/9) lalu telah menyerahkan Surat Kepercayaan kepada Presiden AS Barack Obama, yang sekaligus menandai sebagai wakil resmi Pemerintah Indonesia dengan kapasitas sebagai duta besar.

Sejak tiba di Ibu Kota Amerika Serikat pada 9 September lalu, kesibukannya sebagai Duta Besar RI berkedudukan di Washington DC, langsung diisi dengan berbagai agenda dan pertemuan, baik dengan masyarakat Indonesia maupun mitra-mitranya dari kalangan pemerintah dan masyarakat madani Amerika Serikat.

Diplomat kelahiran Beograd, Yugoslavia, 10 September 1965 itu antara lain menyelenggarakan buka puasa bersama di malam terakhir Bulan Ramadhan, hanya beberapa saat setelah ia, isterinya Rosa Rai Djalal dan ketiga anak mereka tiba di Washington dari Jakarta.

Sementara keesokan harinya, ia menjalankan Salat Idul Fitri bersama masyarakat Indonesia, diikuti dengan menggelar Open House pada Minggu (12/9).

Dalam satu pekan terakhir, ia juga diterima di Gedung Putih oleh Presiden Barack Obama guna menyerahkan Surat Kepercayaan, menghadiri jamuan makan malam oleh Masyarakat AS-Indonesia (Usindo) serta mendampingi Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang bersama Menlu AS Hillary Rodham Clinton meluncurkan Komisi Bersama AS-Indonesia dalam kerangka Comprehensive Partnership.

Saat berbicara di berbagai kesempatan selama dua pekan pertama keberadaannya di Washington, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Amerika Serikat itu menyatakan optimistis dapat mendorong cara pandang yang berbeda oleh pihak pemerintah dan masyarakat Indonesia dan Amerika Serikat terhadap hubungan kedua negara yang lebih setara dan menyeluruh.

Dalam kerangka itu, ia mengajak semua pihak di kedua negara menjadi agen transformasi dengan mengubah "cara pandang" dan menanggalkan kaca mata masa lalu dalam menyikapi hubungan Indonesia-AS.

Berikut perbincangan Dubes Dino Patti Djalal dengan ANTARA baru-baru ini di Washington DC.

ANTARA (ANT): Bagaimana perasaan Anda setelah mendapat tugas sebagai duta besar RI yang baru, perubahan apa yang ingin dilakukan, harapan apa yang ingin dicapai?

Dino Patti Djalal (Dino): Rasanya senang sekali saya dan keluarga tiba di Washington. Saya sengaja tiba sehari sebelum lebaran karena saya ingin bertemu masyarakat Indonesia di Amerika Serikat. Dan penugasan ini juga, saya punya kaitan emosional dengan KBRI karena dulu saya pernah bekerja di KBRI (tahun 1979) dan kemudian saya menjadi diplomat (di KBRI) tahun 2000, dan sekarang kembali lagi sebagai duta besar. Jadi ini adalah suatu lembaga yang tidak asing lagi buat saya.

Misi saya yang paling utama adalah untuk mengimplementasikan comprehensive partnership antara Indonesia dan Amerika Serikat dan melakukan transformasi hubungan Indonesia-Amerika Serikat. Dalam arti, dulu Indonesia melihat Amerika Serikat sebagai friendly country. Sekarang kita melihat Amerika sebagai comprehensive partner, strategic partner.

Penggunaan istilah ini mengindikasikan cara pandang kita yang berbeda dalam melihat hubungan Indonesia dan Amerika Serikat.

Dulu kita melihat Amerika Serikat sebagai kawan, atau sebagai mitra. comprehensive partner itu berbeda, soul atau rohnya berbeda. Itulah sekarang yang kita tempuh.

Tapi apa elemen-elemennya, yaitu:

Pertama, kemitraan ini harus bersifat comprehensive`. Itu artinya tidak `single issue`. Dulu banyak terpaku pada isu-isu tertentu, jadi tidak berimbang. Dulu terlalu banyak di isu demokrasi, HAM, atau Timor Timur. Jadi seakan-akan, hubungan kedua negara yang begitu luas tapi masalahnya hanya itu yang menyita energi.

Nah kita sekarang ingin lebih `comprehensive`. Kan sektornya banyak, antara lain sektor pendidikan, perdagangan, investasi, energi, `civil society`, dan lain sebagainya.

Kedua, kita ingin hubungan ini juga lebih `forward looking`, tidak `stuck` dalam stigma masa lalu. Kita tahu hubungan Indonesia-AS kan banyak `bagagge`nya. Ada positif, ada negatif, ada naik turunnya. Kita ingin agar hubungan Indonesia-Amerika Serikat di abad ke-21 lebih melihat ke depan. Dan juga tidak banyak terpaku pada masalah masa lalu.

Nah, ini memerlukan `a change of mindset`, baik di Jakarta maupun di Washington D.C. Karena di Washington pun kita lihat ada pihak-pihak, misalnya di Kongres, atau di beberapa LSM, yang masih melihat Indonesia dengan kacamata masa lalu. Sementara di Indonesia juga begitu. Itu yang harus kita rubah.

Ketiga, hubungan ini harus berlandaskan `equal partnership`. Dalam arti kesetaraan. Memang Amerika adalah `super power economy` dengan 13 Triliun, tapi itu tidak berarti hubungan ini timpang.

Hubungan ini, `equal partnership`, kita bisa memilih `partnership`nya di bidang apa. Tidak ada yang harus dipaksakan. `Agree to disagree`, itu penting. Jadi kalau ada sektor atau isu di mana kita perlu kerjasama, karena kepentingannya di sana, kita akan bekerja sama.

Tapi kalau kita bertentangan posisi, maka kita tidak bekerja sama. Jadi istilah saya sih, `partnership` yang `a la carte`. Terserah, we choose what we want to partner.

ANT: Jadi tidak ada ruang untuk Indonesia merasa didikte...

Dino: Ya. Dan itu, memang sering saya berbicara mengenai itu ada kekhawatiran-kekhawatiran seperti itu.

Tapi jawaban saya adalah coba katakan satu contoh saja, di mana Indonesia didikte oleh Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir ini. Satu saja. Dan selalu, tidak ada yang bisa jawab.

Kenapa? karena kenyataannya, kita selalu tidak pernah sungkan atau malu atau ragu menyatakan posisi yang beda dengan Amerika Serikat. Tidak pernah, misalnya masalah Irak. Kita kan berbeda pendapat. Masalah Afghanistan, masalah MDGs, `climate change`, Selat Malaka, terorisme, nuklir Iran. Malah dengan adanya perubahan politik luar negeri Amerika Serikat di bawah presiden Barack Obama, perubahan-perubahan itu justru semakin mendekatkan Amerika ke kita.

Jadi kita tetap pada posisi kita, tapi Amerika yang bergeser.

Salah satu contoh misalnya Treaty of Amity and Cooperation. Kita kan sejak lama meminta Amerika untuk menandatangani itu. Amerika bilang jangan dulu, kami nggak mau, belum siap. Akhirnya sewaktu Presiden Obama naik, Amerika sendiri yang menandatangani itu sendiri. Jadi semakin dekat dengan posisi Indonesia.

Jadi dengan kata lain, saya tidak pernah melihat satu kasus di mana kita dipaksa mengambil satu posisi oleh AS. Kalau kita tidak mau, tidak setuju, kita akan dengan percaya diri atau mudah mengatakan No.

ANT: Menurut Anda, kenapa `mindset` bahwa kita didikte terus ada?

Dino: Mungkin begini. Pertama dulu ada masa di mana Amerika sempat dipandang `heavy-handed`, `pushy`. Ini beberapa tahun lalu, mungkin sekitar tahun 2000-an. Kesan intrusif itu ada, dulu, `heavy-handed`, dan menggunakan sanksi dan lain sebagainya. Karena itulah orang merasa agak risih dan masih ada bekas.

Hanya yang saya katakan, sekarang adalah sekarang. Hubungannya sudah berubah. Amerika sangat hati-hati sekali dalam menghadapi sesuatu hal untuk tidak kelihatan terlalu intrusif untuk memaksakan kehendak.

Sudah banyak contoh bahwa mereka mengerti. "Once we said no, then it`s agree to disagree".

Keempat, hubungan ini harus semakin memberdayakan bebas aktif, bukan melemahkan. Dalam arti Amerika itu dengan menandatangani Comprehensive Partnership, berarti mereka tetap menghargai bebas-aktif itu, kalau perlu agree to disagree. Tidak berarti semuanya harus sama terus. Jadi kita tetap menjaga kemandirian kita.

ANT: Hubungan militer mulai membaik. Dengan kembalinya Anda kesini sebagai duta besar, bagaimana kelanjutan hubungan ini bisa lebih meningkat? Anda juga termasuk yang menggagas US-Indo Security Dialog tahun 2001, bagaimana masa depan forum ini, akan lebih diberdayakan?

Dino: Itu (US-Indo Security Dialog, red) sudah melembaga, sudah punya nyawa sendiri. Setelah menjadi suatu kegiatan tahunan, bahkan terus berkembang.

`Interesting`nya, saya rancang dengan Bob Scher dari Pentagon, itu dirancang dalam waktu satu jam dan konsepnya kita buat di atas `napkin`. Jadi kita makan pizza, saya ajak Bob makan pizza di Pentagon City. Kemudian saya bilang, "Kita harus melakukan terobosan, nggak bisa seperti ini."

Kita harus bisa mengambil jalan pintas. (Konsep keluar) karena waktu itu embargo (militer)nya jalan terus. Jadi what can we do untuk mendekatkan kedua negara. Lalu kita ambil konsep US-Indonesia Security Dialog. Kita tulis konsepnya di atas `napkin`, dalam waktu kurang dari satu jam. Nah, di sana mata saya mulai terbuka bahwa sebetulnya kalau ada semangat `partnership`, dan kita bisa melobi orang, kerja sama itu sebetulnya gampang. Intinya ada seninya.

Kalau waktu itu kita mengambil diplomasi yang No terus, itu mungkin tidak akan jadi-jadi. Tapi konsep itu ternyata jadi dalam waktu 1 jam di atas kertas `napkin` karena semangat untuk mencari terobosan. Ini yang saya inginkan bahwa diplomasi atau `comprehensive partnership` itu harus mencerminkan `partnership` yang efisien, dalam arti kita kan kadang-kadang suka ada budaya `kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah`.

Kadang-kadang sikap itu membuat ketika setiap ada ide baru, `resistant`. Tapi dengan demikian kita menjadi kehilangan peluang. Kadang-kadang langkah kita menjadi kaku dan diplomasi kita menjadi di gigi 2 saja, bukan naik ke gigi 3 atau 4.

Yang ingin saya tekankan terhadap diplomat Indonesia di Amerika, bukan hanya di Washington tapi di manapun: if we have to make things more efficient, dalam arti ask more questions like `why not`, bukan `why`. Pertanyaan-pertanyaan seperti `why not`, `what if`, `what more`, membuat kita mendapat solusi dan peluang.

Dalam hubungan militer ini juga.

Sekarang momentumnya baik sekali untuk meningkatkan kerjasama antara kedua militer. `Political will` nya di Pentagon, Pemerintah Amerika Serikat kuat. Kita juga kuat.

Mungkin dari kita salah satu hal yang penting adalah bagaimana TNI dapat menarik keuntungan dari `revolution in military affairs` (RMA), karena ini perlu untuk modernisasi TNI ke depan.

ANT: Menyangkut isu Palestina-Israel, Pemerintah Amerika Serikat sekarang sudah sangat aktif untuk menggiring kedua pihak ke meja perundingan langsung. Namun di sisi lain Indonesia masih diharapkan berbagai kalangan untuk berperan lebih besar. Dengan Indonesia yang sekarang memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Amerika Serikat, Amerika yang lebih bergeser ke Indonesia, apakah masih ada celah diplomatik bagi Indonesia untuk berperan lebih besar di isu Palestina-Israel ini?

Dino: Masih ada, selalu ada. Bahkan waktu Presiden Mahmoud Abbas bertemu dengan Presiden Yudhoyono di Jakarta beberapa waktu lalu, disampaikan juga mengenai hal ini, bahwa mereka ingin Indonesia aktif.

Mengenai celah atau formatnya nanti bisa datang di kemudian hari. Kita lihat apa yang bisa kita lakukan secara lebih konstruktif.

Satu hal misalnya: Indonesia sekarang sedang melakukan pelatihan untuk sekitar 1.000 orang pejabat Palestina dalam waktu 5 tahun di berbagai bidang. Intinya, filosofinya, kita ingin kalau nanti negara Palestina berdiri, jangan sampai negara itu langsung ambruk karena tidak ada pejabat yang bisa menjaga `governance`.

Karena itulah Indonesia mengambil inisiatif untuk melatih 1.000 orang sehingga kalau negara Palestina berdiri, pemerintahannya bisa stabil, melakukan fungsi `governance` dengan baik dan mengisi kemerdekaan itu dengan baik.

Kedua, kita juga memberikan dukungan diplomatik terhadap perundingan yang sekarang sedang berlaku. Sebelum itu berlaku juga kita sudah menyatakan. Tidak mungkin two-state solution itu tercapai kalau tidak ada perundingan. Kan Palestina tidak akan berdiri dengan sendirinya. Jadi perundingan harus dimulai. Kita tahu tidak mudah, resikonya juga tinggi.

Tapi kita juga memberikan penghargaan kepada Pemerintah Amerika Serikat yang menempuh resiko itu dan sekarang sudah memberikan dukungan diplomatik untuk menjalankan, menghidupkan lagi perundingan itu.

Kita juga menyampaikan kepada Presiden Mahmoud Abbas pentingnya rekonsiliasi. Presiden selalu menyatakan bahwa dengan pengalaman Indonesia, kita tidak mungkin mencapai kemerdekaan kalau kelompok-kelompok di Indonesia tidak bersatu. Kalau Palestina mau merdeka, berdaulat, dua kelompok politik itu, Hamas dan Fatah, harus bersatu.

ANT: Sebagai Dubes yang tugasnya juga berkaitan dengan keberadaan warga Indonesia, apa harapan Anda terhadap masyarakat Indonesia di Amerika Serikat?

Dino: Pertama, saya ingin agar masyarakat Indonesia meningkatkan `exposure` Indonesia di Amerika Serikat dan tentu masyarakat Indonesia di Amerika Serikat dapat menjadi bagian dari upaya untuk meningkatkan `exposure` ini. Kita banyak sekali aset, hal-hal yang dapat dipasarkan di Amerika Serikat: demokrasi ketiga terbesar, negara berpenduduk muslim terbesar, `environmental`, `soft power`, dan lain-lain. Hal ini selain dilakukan secara formil oleh pemerintah, KBRI, juga dapat digaungkan oleh masyarakat Indonesia.

ANT: Contohnya dengan jalan apa?

Dino: Misalnya students can talk about Indonesia in universities. Masyarakat juga dapat bicara mengenai tetangganya dengan penuh kebanggaan mengenai Indonesia.

Tapi juga yang paling penting, masyarakat Indonesia di Amerika bisa menjadi bagian dari proses transformasi di Indonesia: memberikan masukan intelektual, berkontribusi bagi proses-proses, ide-ide baru yang ada di masyarakat Indonesia. Atau bahkan kembali ke tanah air juga setelah mereka menimba pengalaman berbakti kepada bangsa dan negara.

Sekarang banyak sekali tokoh-tokoh pelopor perubahan yang dulu sempat tinggal di Amerika, seperti Gita Wirjawan, Sri Mulyani, Mari Pangestu, Peter Gontha sekarang dengan Java Jazz nya, Pak Boediono, Presiden SBY sendiri. Jadi ini membuktikan bahwa orang-orang yang dulu pernah mengenyam pendidikan atau pengalaman di Amerika Serikat sekarang menjadi agenda perubahan.

Atau paling tidak, kalau mereka tidak melakukan itu, mereka berada di Amerika Serikat menjadi warga yang baik dan taat hukum. Saya kira itu saja sudah baik.
(K-TNY/A041)

Oleh
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010