London (ANTARA News) - Dunia dalam cengkeraman "perang" mata uang, dengan negara-negara terkemuka menggunakan devaluasi untuk memecahkan masalah-masalah ekonominya, Menteri Keuangan Brazil

Guido Mantega memperingatkan dalam sambutannya yang dilaporkan dari Sao Paulo.

"Kami berada di tengah-tengah perang mata uang internasional, sebuah pelemahan umum mata uang," katanya dalam pernyataan yang dilaporkan oleh surat kabar Financial Times.

"Hal ini mengancam kami karena menghilangkan daya saing kami."

Analis VTB Capital di London, Neil MacKinnon berkomentar dalam sebuah catatan: "Menteri Keuangan Brazil memperingatkan tentang perang mata uang di mana kebijakan `pengemis` tetanggamu menghasilkan kebijakan rahasia dari devaluasi mata uang sebagai

cara berusaha untuk mempertahankan daya saing.

"Sejarah menunjukkan ini adalah kebijakan menghukum dan sering menyebabkan pematahan sistem moneter internasional. Arus masuk portofolio bersih ke ekonomi-ekonomi EM (emerging market) yang besar membuatnya sulit bagi penerima aliran tersebut seperti Brazil untuk mengelola kebijakan moneter secara efisien.

"Intervensi FX (foreign exchange/valuta asing) menjadi tidak efektif dan memaksa pilihan sulit dalam hal manajemen mata uang, yang kadang-kadang mencakup penggunaan kontrol modal."

Financial Times dalam laporannya mencatat di halaman depan bahwa Jepang, Korea Selatan dan Taiwan telah melakukan intervensi baru-baru ini untuk menarik turun nilai mata uang mereka, dan dolar telah jatuh sekitar 25 persen sejauh tahun ini terhadap real Brazil.

Seperti sebuah penurunan kenaikan harga ekspor Braszl di pasar AS.

Pernyataan menteri adalah dengan latar belakang peningkatan ketegangan terutama antara Amerika Serikat dan China atas nilai yuan.

Amerika Serikat telah mengeluh selama bertahun-tahun bahwa China telah membuat turun artifisial nilai dari mata uangnya, mencegah mata uangnya dari kenaikan untuk mencerminkan penguatan laba valas China dari ekspor, terutama untuk pasar AS.

Ini datang akhir pekan lalu menjelang pertemuan Majelis Umum PBB ketika Perdana Menteri China Wen Jiabao mengatakan kepada sebuah forum bisnis di New York yang menyuarakan kekhawatiran kerusuhan sosial jika Beijing tunduk pada tekanan AS.

"Jika (yuan) menguat sebesar 20 sampai 40 persen sesuai dengan permintaan dari pemerintah AS, kami tidak tahu bagaimana perusahaan-perusahaan China banyak yang akan bangkrut dan berapa banyak pekerja China akan diberhentikan, dan bagaimana para pekerja pedesaan akan pergi kembali ke rumah mereka dan akan ada turbulensi besar dalam masyarakat China," kata dia.

Dalam beberapa pekan terakhir, sentimen telah berkembang di pasar keuangan bahwa Amerika Serikat, yang telah mengisyaratkan menggunakan aturan Organisasi Perdagangan Dunia untuk membalas, mungkin melihat sebuah penurunan dolar sebagai cara untuk meningkatkan tekanan.

Sementara itu, ada perdebatan yang kuat di Amerika Serikat mengenai apakah paket stimulus yang baru akan menjadi cara yang tepat untuk memberikan dorongan baru ekonomi.

Stimulus baru juga bisa melemahkan dolar, beberapa analis mengatakan.

Mismatch antara tabungan dan surplus eksternal yang dibangun oleh beberapa negara dan defisit eksternal di beberapa negara maju, terutama Amerika Serikat, bersama dengan nilai tukar yang dipatok terhadap dolar, secara luas dianggap sebagai faktor penting penyebab di balik krisis ekonomi global.

Di antara pelajaran dasar dari Depresi Besar pada 1930-an adalah bahwa proteksionisme dan apa yang disebut devaluasi kompetitif membuat keadaan semua menjadi lebih buruk. Pada puncak krisis baru-baru ini, pemerintah berada pada kondisi sakit untuk menunjukkan penolakan terhadap proteksionisme.

AFP/A026/A023

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010