Kriminalisasi kata! Mau bukti? Orde Baru merekayasa akrobat dari sejumlah kata bahasa Jawa untuk melakukan kriminalisasi terhadap para lawan politik dengan melejitkan kata mbalelo dan neko-neko.
Kriminalisasi kata! Mau bukti? Orde Baru merekayasa akrobat dari sejumlah kata bahasa Jawa untuk melakukan kriminalisasi terhadap para lawan politik dengan melejitkan kata mbalelo dan neko-neko. Serta-merta, telunjuk langsung terarah kepada orang atau kelompok yang melawan arus, yang mengidap tingkah laku menyimpang. Bimsalabim...harmoni tidak boleh lengser keprabon.

Di bawah sorot mata sejarah nasional, di zaman kolonial Belanda, kata pangreh praja menunjuk kepada penguasa bumiputra yang terdiri dari golongan priyayi. Sebagai kasta penguasa, para priyayi bertugas sebagai penghubung antara raja di pusat dan rakyat di daerah. Mereka bertugas mengumpulkan upeti, mengorganisasi kerja bakti dan mengerahkan rakyat dalam pertempuran. Langit memberkati pangreh praja.

Imbasnya, menurut sejarawan Ong Hok Ham, gaya hidup bupati pada abad ke-19 mencitrakan gaya hidup seorang sultan-sultan kecil. Gaya hidup mereka, asoi. Mereka beroleh pengawal berkuda, berseragam sulaman emas.

Ujung-ujungnya, bupati bertugas, menjamu para pembesar Belanda, menjalin perkoncoan bersama kapitan Cina, dan menyelenggarakan selamatan ini-itu. Kharisma kekuasaan memerlukan stempel monumental. Dan pertanyaannya, siapa menandatangani prasasti itu?  

Di bangku persekolahan, jika seorang guru terkejut dengan pertanyaan subversif dari murid, maka boleh jadi sang guru berpura-pura tidak mendengar. Kalau murid menginterogasi ayah di rumah, maka jawabannya, "Nak, pertanyaanmu terdengar seperti layaknya pangreh praja yang memohon perlindungan penguasa kolonial Belanda," kata Paduka Ayah.

Kalau bertanya adalah awal pengetahuan, maka kriminalisasi kata membumihanguskan rumah, bahkan dapat meledakkan sekolah. Nah, mengenai dari mana datangnya revolusi, bertanyalah kepada "filsuf pembebasan" Amerika Latin Che Guevara.

Magnet tokoh hiasan T-shirt para kawula muda ini satu saja, memberi suara kepada mereka yang miskin atau meminjam kosa kata Orde Baru, mereka yang hidupnya pas-pasan.

Jangan dulu khawatir apalagi mencibir, karena di zaman Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, ada imbauan seksi melumuri harapan rakyat. Pada 2010, dana sebanyak Rp80 triliun siap dikucurkan, dan bantuan langsung tunai (BLT) dicoret dari kamus ingatan rakyat. Boleh dibilang, efek dua kata yakni stabilisator dan koordinator hendak dicoret agar berkibar panji penyadaran atau istilah menterengnya konsientisasi.

"Sejumlah program yang akan dilanjutkan antara lain kredit usaha rakyat (KUR), jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) dan alokasi beras miskin. Kalau dihitung-hitung semua program itu sebesar Rp80 triliun," kata Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono. Alokasi dana bagi beras miskin (raskin) sebesar Rp12,5 triliun dan jamkesmas sebesar Rp15 triliun.

Ini bukan tonil dari logika hitung-hitung gelontoran rupiah. Harga beras siap "meroket" sebagai dampak lonjakan konsumsi yang diprediksi melebihi kemampuan produksi padi untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir. Stok lima negara pengekspor beras utama juga turun sekitar 33 persen.

Ketika hendak merevolusi kata, dari istilah raskin sampai hidup pas-pasan, ada rasa malu yang mengusik orde rakyat. Sepanjang 2003-2007, Pemprov DKI telah mendistribusikan kartu jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin) untuk 695.620 kepala keluarga atau 2,67 juta jiwa di Jakarta melalui Dinas Kesehatan.

Bagaimana membaca angka-angka yang merayap di balik ungkapan makin tinggi pohon, pohon makin banyak terkena badai (noblesse oblige)? Jawabnya, kembalilah kepada budaya malu (shame culture).

Menurut Ruth Benedict, terhadap apakah orang harus merasa malu? Apakah seseorang harus malu kalau korupsinya ditangkap basah oleh rakyat? Ataukah dia perlu malu kepada dirinya karena melakukan perilaku korupsi sekali pun tindakan itu belum diketahui rakyat?

Dari zaman kolonial Belanda sampai Orde Baru, ada revolusi kata yang hendak dibebaskan dari perilaku rakyat, bahwa aibnya perbuatan itu sendiri tidak memalukan, karena yang memalukan justru diketahuinya aib itu oleh rakyat. Tanpa perlu dimobilisasi oleh pangreh praja, tanpa disematkan gelar ini dan gelar itu, maka kebiasaan memakai nilai kultural untuk memaafkan kesalahan sendiri adalah tabiat politik Orde Baru.
   
Yang memulai Che, yang mengakhiri filsuf perempuan Hannah Arendt, ketika rakyat mempraktikkan budaya malu. Yang asoi, kekuasaan kerap disempitkan pada proses mobilisasi sosial. Kata Arendt, kalau saja ada mobilisasi sosial, maka terjadi di antara manusia-manusia, jika mereka bertindak bersama, maka lenyap bila mereka bubar".
   
Rakyat berdaulat dari kriminalisasi kata, artinya rakyat tidak dianjurkan untuk berevolusi, melainkan melancarkan gerakan diskursus publik di bidang sosial, politik dan kultural. Tujuannya, meningkatkan peran serta demokratis rakyat, meski "suara rakyat" tidak selalu murni dari kepentingan.

Post scriptum, guru Sekolah Dasar punya kata pamungkas, yakni "kita mesti peduli", meski peduli memerlukan selamatan ini dan selamatan itu. Bukan asoi, tapi sekarang "yeah"!  (*)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009