Johannesburg (ANTARA News) - Korea Utara tampil pertama kali di babak final Piala Dunia sejak 1966, Selasa, tetapi mereka langsung mendapat tantangan besar dari juara lima kali, Brazil.

Dalam usaha mengulang sejarah saat maju ke putaran perempat final di Inggris, tim yang dikenal dengan kekuatan bertahannya itu selama ini melakukan pelatihan dengan cara tur ke tiga benua, diawali di Sri Lanka dan berakhir di Venezuela.

Dengan berbagai aspek yang memayungi tim negara komunis itu, misteri pun tak urung mengelilingi tim yang peringkatnya paling rendah dalam turnamen tersebut, terlebih ketika mereka tidak bersedia diwawancarai saat tiba di Afrika Selatan.

Korea Utara tidak dipungkiri lagi, memiliki reputasi dengan kesehatan para pemain mereka, memiliki kecepatan tinggi dalam menyerang dan canggih dalam bertahan.

Ini harus diwaspadai Brazil, yang sudah mengembangkan kesolidan tim, tetapi kehilangan beberapa karakter permainan di bawah pelatihan

Dunga, dan bahkan dinding bertahan mereka rapuh ketika melawan Venezuela dan Kolumbia di kandang sendiri pada babak penyisihan.

"Tidak ada orang yang membicarakan mereka padahal mereka memainkan bola dengan baik," kata pelatih Pantai Gading Sven-Goran Eriksson tentang Korea Utara.

Pantai Gading berada di Grup G dan mereka berharap kapten berinspirasi yang juga striker, Didier Drogba, akan pulih pada saatnya setelah selama ini mengalami cedera lengan, demikian pula dengan pemain sayap Cristiano Ronaldo, yang diharapkan dapat turun lapangan.

Korea Utara merupakan satu-satunya tim "underdog" tapi berharap dapat membuat kejutan.

Selandia Baru dan Slovakia berhadapan pada laga awal, keduanya pun berharap dapat menampilkan kejutan pada permainan mereka.

Lebih dikenal sebagai negara yang kondang dengan olah raga rugbi, Selandia Baru yang dijuluki tim "All Whites" berharap tampil lebih baik dibanding pertama kali tampil di Piala Dunia pada 1982, ketika mereka kalah dalam semua pertandingan penyisihan grup.

"Sudah lama sekali bukan?," kata pelatih dan mantan pemain bertahan "All Whites" Ricki Herbert, yang teringat ketika ia bertukar kaos dengan pemain Brazil, Socrates, setelah kalah 4-0.

Bermain pertama kali di Piala Dunia sebagai negara sendiri, pelatih Slovakia Vladimir Weiss juga memiliki pengalaman masa lalu dalam turnamen itu. Ia merupakan salah satu pemain tim Cekoslowakia yang maju ke perempata final di Italia pada 1990.

Perdebatan Jabulani dan Vuvuzela
Hanya Jerman satu-satunya tim yang bersinar pada awal pertandingan di daratan Afrika Selatan, ketika tim muda itu menang 4-0 atas Australia.

Belanda memiliki pemain berbakat, tetapi dengan cederanya pemain sayap Arjen Robben, mereka gagal bersinar kendati menang 2-0 atas Denmar di Soccer City, Senin.

Klub kelas berat lainnya dari Eropa, Italia, mengulang kebiasaan tampil lamban pada awal turnamen, ketika main imbang 1-1 lawan Paraguay, Senin, bahkan tim Azzuri itu kecolongan lebih awal.

Tim Afrika baru membukukan satu kemenangan sejauh ini, ketika

Ghana mengalahkan Serbia, Minggu, sehingga mereka membawa harum negara seantero benua.

Harapan besar Afrika lainnya, Kamerun, dengan mengejutkan kandas 0-1 ketika melawan Jepang, yang menang untuk pertama kalinya di final Piala Dunia di negara asing.

"Terus terang, suasanya tidak yang terbaik tetapi...tim kami sudah mengeluarkan yang terbagus," kata penjaga gawang Keisuke Honda.

Di luar lapangan, tuan rumah Afrika Selatan gembira dengan mulusnya acara pertandingan, setelah sebelumnya disebut-sebut mereka tidak akan mampu menyelenggarakan event besar itu.

Masalah paling serius dalam empat hari ini, ketika polisi menyemprotkan gas air mata ke arah pekerja di kawasan dekat pantai Durban, yang memrotes kenaikan gaji mereka. Ini terjadi setelah usai pertandingan antara Jerman melawan Australia, Minggu.

Sementara kontroversi antara pemain dan pelatih meningkat tentang bola baru Piala Dunia yang dijuluki Jabulani, kata dari bahasa Zulu yang berarti perayaan.

Ketika melakukan operan, tendangan bebas atau tendangan jarak jauh, bola itu tidak menusuk ke sasaran, sehingga para pemain merasa grogi.

"Bola itu bisa menipu, tidak hanya bagi penjaga gawang tetapi kepada semua pemain," kata penjaga gawang Denmark Thomas Sorensen setelah timnya kalah atas Belanda.

Perdebatan tentang trompet vuvuzela pun terus bergulir, karena suara trompet itu bergema seperti sekawanan besar tawon yang memasuki stadion.

Pendukung sepak bola mengatakan, trompet itu merupakan ha paling esensi secara lokal dan pengritik menyebutkan hal itu mengganggu komuniasi antara pemain dan pelatih, karena suaranya hiruk-pikuk memekakkan telinga.

Permintaan agar penggunaan trompet itu dilarang, pun masih bergulir, tetapi panitia setempat mengatakan mereka tidak akan melarangnya.

"Vuvuzela tetap bergema dan tidak akan pernah dilarang," kata Rich Mkhondo, juru bicara panitia lokal Piala Dunia.

"Sebagai tamu, silahkan ikuti aturan budaya kami, silahkan hormati cara kami merayakan sesuatu," katanya.

Sementara itu, penjualan vuvuzela -- dan alat penutup telinga -- semakin memuncak, menurut para pembuat dan pabriknya. (A008/F005)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010