Banda Aceh (ANTARA News) - Puluhan monyet ekor panjang berjejar di pinggir jalan Banda Aceh-Medan, beberapa di antaranya mencoba mendekat ketika sebuah mobil berjalan lamban dan penumpang didalamnya membuka kaca kendaraan tersebut.

Monyet-monyet itu pun saling berebutan untuk mendapatkan pisang, jagung, kacang dan aneka makanan lainnya yang dilemparkan pengendara dari dalam mobil yang melintas pelan di kawasan Saree, Kabupaten Aceh Besar.

"Monyet juga sudah memiliki naluri pengemis. Mungkin, binatang itu mengemis karena makanannya di dalam hutan sudah tidak ada lagi. Panorama itu terlihat dalam beberapa tahun terakhir," kata Marhaban, warga Aceh Besar.

Tidak hanya itu, kawasan tersebut sebelumnya dikenal berhawa sejuk mulai senja hingga pagi hari karena lebatnya hutan seperti pohon pinus, dan aneka kayu berukuran besar lainnya.

"Beberapa tahun lalu, Saree merupakan salah satu kawasan berudara sejuk, dan kerap berkabut terutama pada malam hari, berbeda dengan saat ini," kata warga itu.

Kegersangan kawasan Saree saat ini juga diakui Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Abubakar Cekmad.

Kawasan Saree atau sekitar 70 kilometer arah timur Kota Banda Aceh juga sebagai tempat bersemayamnya gunung berapi aktif, yakni Seulawah Agam.

Dalam beberapa pekan lalu, warga sempat khawatir dengan status gunung berapi Seulawah menyusul statusnya ditingkatkan dari normal menjadi awas (level II).

Abubakar Cekmad menilai salah satu penyebab rusaknya hutan, terutama yang masuk dalam kawasan lindung di Saree itu karena maraknya pembalakan dan pengalihan fungsi menjadi lahan perkebunan masyarakat.

"Aksi perambahan dan pengalihan fungsi hutan menjadi perkebunan rakyat itu akan berdampak punahnya kawasan hutan lindung, kami minta pemerintah bertindak cepat dan tegas untuk mengatasinya," katanya.

Kawasan hutan lindung Saree seluas sekitar 6.300 hektare tersebut dikelola Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh.

"Karena pengelolaan oleh Pemerintah Aceh maka kami berharap agar pengalihan fungsi hutan menjadi perkebunan segera dihentikan. Kalau Pemerintah Aceh merasa tidak sanggup lagi maka sebaiknya diserahkan kembali ke Pemerintah Pusat," katanya menambahkan.

Parahnya pengalihan fungsi kawasan hutan Saree yang masuk ke dalam dua wilayah administrasi, yakni Kabupaten Aceh Besar dan Pidie itu mulai terjadi dalam beberapa tahun terakhir pascakonflik dan tsunami.

"Salah satu indikasi bahwa kawasan hutan itu mulai kritis adalah hilangnya beberapa sumber air, selain udara di wilayah tersebut tidak lagi sejuk seperti sebelum hutan dirambah," ujarnya.

Ikon hutan Aceh
Abubakar menyebutkan bahwa kawasan hutan Saree sebelumnya telah dijadikan sebagai "Ikon Kehutanan" di provinsi berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa tersebut.

Direktur eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar menambahkan juga bahwa Taman Hutan Rakyat (Tahura) Cut Nyak Dien Saree juga semakin kritis akibat pembalakan liar.

"Kondisi taman ini sangat mengenaskan. Praktik perambahan hutan bisa dilihat langsung karena berada di sisi jalan nasional Banda Aceh-Medan," katanya.

Tahura Cut Nya Dhien terletak di Saree, Kabupaten Aceh Besar dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1/Kpts-II/1998 tanggal 5 Januari 1998. Hutan rakyat ini memiliki areal 6.220 hektare.

Ia mengatakan hampir 50 persen luas Tahura Cut Nyak Dhien mengalami kerusakan. Kerusakan diperparah oleh adanya pembukaan kebun hingga lokasi wisata di kawasan hutan lindung itu.

Instansi berwenang dinilai tidak mampu berbuat banyak untuk mengatasi aksi perambahan hutan di kawasan tersebut. Padahal Gubernur Aceh Irwandi Yusuf telah mencanangkan program "Moratorium Logging" sejak 2006.

Oleh karena itu, Walhi Aceh ingin memastikan proses-proses penyelamatan Tahura Cut Nyak Dhien dan kawasan hutan lainnya di Aceh menjadi fokus utama pemerintah daerah.

"Persoalan-persoalan kehutanan harus didiskusikan bersama. Apalagi di tingkat nasional, Menteri Kehutanan setuju Aceh menjadi contoh proses penyelamatan hutan di Indonesia," katanya.

Bahkan ancaman punahnya kawasan hutan lindung dan Tahura Cut Nyak Dhien itu juga kini telah merisaukan Pemerintah Aceh.

Dia mengatakan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh telah berupaya melindungi kawasan Tahura tersebut dengan jalan memagarinya.

"Pagar yang akan dibangun itu mencapai 10,2 kilometer. Pagar itu dibangun untuk memperjelas batas kawasan. Namun, pembangunannya mendapat gangguan pihak tertentu," kata TM Zulfikar.

Tidak hanya hutan yang ditebang, tapi saat ini beberapa bangunan tidak permanen milik masyarakat berada di kawasan hutan lindung itu, seperti warung dan rumah warga.

Kawasan Saree yang dulunya padat dengan pohon kayu besar kini berganti kebun-kebun masyarakat, ditanami pisang, cabe dan tomat.

Sebelumnya, warga tidak bisa menemukan pemandangan laut lepas Selat Malaka meski berada di puncak tertinggi gugusan gunung Seulawah, karena terhalang pohon kayu besar dan rindang.

Tapi kini, hamparan luasnya Selat Malaka telah menjadi tontonan warga ketika berhenti dan beristirahat di pinggir ruas jalan Banda Aceh-Medan atau tepatnya di atas puncak gugusan gunung Seulawah tersebut.

"Bukannya tidak boleh masyarakat berkebun, tapi cabe, jagung atau tanaman kecil lainnya karena pengolahan lahan dapat merusak struktur tanah. Saya menyarankan dengan tanaman keras seperti durian, karet atau kemiri yang tidak perlu pengolahan," kata Fakhruddin.

Jika kawasan hutan yang bahagian dari kehidupan bagi binatang dilindungi tidak lagi terusik akibat keserakahan manusia, maka monyet-monyet tersebut tidak lagi harus menjadi "pengemis" di jalanan karena makanannya cukup di dalam hutan.

Termasuk juga, gajah dan harimau tidak akan mengganas jika manusia tidak mengusik dan membabat lahan yang selama berabad-abad menjadi tempatnya untuk menikmati kehidupan.
(A042/H-KWR)

Pewarta: Azhari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010