Jakarta (ANTARA News) - Ketika diperbincangkan potensi kelautan Nusantara,  hal yang selalu mengemuka adalah berapa sesungguhnya potensi lestari sumberdaya perikanan (Maximum Sustainable Yield) ?  Dan berapa banyak nilai devisa yang bisa diraup dari ekspor komoditas baik perikanan tangkap maupun budidaya ?  

Lalu bagaimana halnya dengan kekayaan hayati laut intangible yang tak bisa dimanfaatkan secara langsung yang tak kalah besar potensinya (namun sukar dikuantitatifkan) ?  

Selanjutnya penulis mengistilahkan sumberdaya hayati laut intangible ini sebagai Marine Natural Product  (MNP) yang   dalam kajiannya dikenal tiga aspek yakni : toksin, biomedis, dan ekologi kimia.

Sebagai negara maritim terbesar di dunia dengan garis pantai terpanjang (81.000 km) kedua setelah Kanada.   Tak perlu diragukan bahwa laut Nusantara memang menyimpan mega potensi sumberdaya hayati dan non hayati.   Khusus untuk sumberdaya hayati laut intangible boleh dikata masih virgin (intact).   

Bisa dimakhfumi, karena memang eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya hayati laut tangible saja, pun masih belum optimal, dalam konteks rendahnya kuantitas dan kualitas armada perikanan Nusantara yang mampu menjelajah ke segala pelosok perairan Nusantara hingga ke perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE).

***

Sumberdaya hayati laut intangibile mencakup kandungan senyawa metabolit primer dan sekunder dari  mikro-makro organisme dan tumbuhan laut.    Agar-agar, karraginan, sun-chlorella, ekstrak spirulina, adalah beberapa contoh ekstrak produk laut yang cukup populer dipendengaran kita sebagai bahan makanan tambahan.  

Belakangan tim peneliti Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan memperkenalkan penggunaan Natrium alginat yang diekstrak dari rumput laut Sargassum untuk keperluan pembatikan.

Senyawa metabolit primer dijabarkan sebagai senyawa kimia organik, biasanya terdapat dalam kuantitas yang relatif besar dan keberadaan senyawa ini berperan dalam proses metabolisme.  

Sebaliknya metabolit sekunder diartikan sebagai senyawa kimia organik yang terkandung dengan kuantitas yang sedikit atau malah renik (trace) dan tak terlibat langsung dalam proses metabolisme tapi sangat berperan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup.   

Mempertahankan kelangsungan hidup di sini tidak semata-mata penghindaran dari gangguan predator, juga dalam rangka mengatasi fluktuasi lingkungan yang relatif ekstrim.   Terpena, alkaloida, polypenol, dsb. adalah beberapa contoh kelompok metabolit sekunder.

Senyawa metabolit sekunder dari laut inilah yang dua dekade belakangan ini diminati secara luar biasa ekstensif,  sebagai sumber farmasi baru selain sumber terrestrial dan senyawa-senyawa sintetik yang merupakan produk dari kimia rekombinan.    

Kuantitas senyawa baru yang diekstraksi dan diisolasi dari mikro-makro flora dan fauna laut memperlihatkan angka yang cukup fantastis.   Dari relatif belum dieksplorasi sebelum tahun 1980, menjadi 6.500 senyawa berhasil diisolasi  pada tahun 1995.   Kemudian dalam kurun waktu 4 tahun, jumlahnya berlipat hampir dua kali menjadi 10.000 senyawa pada tahun 1999 (Whitehead, 1999).     

***

Kespesifikan apakah yang membuat senyawa metabolit sekunder dari laut menjadi begitu primadona dan seakan-akan sebagai magnit bagi dunia farmasi?   Pada senyawa metabolit sekunder dari laut, sering ditemukan struktur molekul baru yang belum pernah sama sekali ditemukan pada senyawa metabolit sekunder terrestrial.   Kekhasan lain dari struktur senyawa metabolit sekunder laut adalah kandungan unsur halogen.

Kekhasan struktur metabolit sekunder dari laut ini sangat dipengaruhi atau merupakan konsekuensi dari kondisi lingkungan laut  yang sangat bervariasi.  Faktor abiotik sebagai contoh: suhu air laut bervariasi dari –1,5 derajad Celcius di wilayah Antartika,  hingga mencapai 350 derajat Celcius pada hidrotermal.   

Tekanan atmosfer air bervariasi dari 1 hingga 1000 atm.   Keberadaan nutrien (unsur hara) berkisar dari eutrofik (kaya hara) dan oligotrofik (miskin hara).   Intensitas cahaya juga sangat variatif dari zonase perairan yang mendapat cahaya cukup (zona fotik) hingga zonase afotik (tak ada cahaya).

***

Kandungan hara laut secara umum relatif sedikit.    Minimnya kandungan hara ini mendorong mikroorganisme untuk hidup berasosiasi (bersimbiose) dengan flora dan fauna laut lainnya untuk saling bertukar nutrisi.  Pada tataran mikroorganisme laut, simbiose ini sangat umum dijumpai, dan kompetisi untuk mendapatkan unsur hara atau sumber nutrisi lainnya sangatlah intensif.   

Intensifnya kompetisi ini mengakibatkan makhluk laut dituntut secara alamiah untuk dapat mensintesis metabolit sekunder yang dapat dipakai sebagai senjata pertahanan dan kompetisi.   Senyawa metabolit sekunder bisa berupa toksik atau non-toksik, bisa pula berupa produk intra atau ekstra sellular.   

Senyawa metabolit sekunder ini lebih banyak dijumpai pada organisme bentik yang hidup menetap di dasar perairan pesisir wilayah tropik.   Karena ketidakmampuannya menjauhkan diri dari predator,  maka melalui produksi senyawa metabolit sekunder-lah, organisme ini dapat mereduksi gangguan predator.  Sponge, ascidian, karang lunak (soft coral), dan mikroorganisme seperti mikroalgae, jamur, dan bakteri adalah beberapa contoh dari organisme bentik.

Senyawa-senyawa baru metabolit sekunder demikian inilah yang dicari-cari oleh para pakar MNP untuk diisolasi dan dimurnikan, dan selanjutnya diuji bioaktivitasnya  dengan metoda bioassay terhadap sel kanker (cytotoxicity), terhadap bakteria (antibiotect test),  dan uji hayati lainnya yang produk akhirnya dapat diaplikasikan bagi kepentingan farmasi, pemacu pertumbuhan,  pestisida,  kosmetika, dsb.

Institut Kanker USA (1999) menyebutkan beberapa jenis obat yang berasal dari laut yang sedang menjalani uji klinik sebagai obat anti kanker.    Obat-obatan tersebut diantaranya adalah: Ecteinascidin 743 (alkaloida) diisolasi dari ascidian Ecteinascidia turbinata,  Bryostatin-1 (agen anti tumor) diisolasi dari  bryozoa Bugula neritina, Dolastin-10 (peptida) diisolasi dari Dolabella auricularia, dan Halichondrin B diisolasi dari sponge Halichondria okadai,   Isohomohalichondrin B,  Curacin A,  Discodermolide, Eletherobin, dan Sarcodictyin A.

***

Tak ada pretensi untuk memberi penilaian marjinal  terhadap institusi yang berupaya untuk bergerak dalam bidang MNP ini.   Tapi yang dimaksud kapabilitas institusi di sini adalah kemampuan untuk melakukan riset MNP  secara komprehensif, terintegrasi, kontinyu, dan mandiri, dengan tujuan akhir diproduksinya suatu produk yang dilakukan oleh sekelompok orang Indonesia dan di suatu lembaga riset Indonesia.     

Beberapa negara berkembang seperti Cina, India, Pakistan, dan Mesir telah memiliki kemampuan untuk melakukan riset MNP secara komprehensif demikian.    Negara-negara berkembang tersebut bukanlah negara berbasis kelautan, tapi keseriusan mereka dalam menggali MNP patut diteladani.

Riset dalam bidang MNP bukanlah suatu kajian jangka pendek  tapi butuh investasi dana, sarana, waktu, kapabilitas, dan interdisiplin ilmu.   Kajian komprehensif MNP paling tidak harus melibatkan ahli biologi kelautan, taksonomi, kimia, farmasi, dan kedokteran.   Riset dengan orientasi jangka pendek dengan luaran langsung bukanlah prototipe riset MNP.    


*) Dosen Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK-IPB

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010