Bandarlampung (ANTARA News) - Pemerintahan SBY-Boediono dalam satu tahun pertama usianya telah mencapai kemajuan dalam bidang demokrasi, demikian penilaian pengamat politik Universitas Lampung, Arizka Warganegara.

"Secara umum, demokratisasi itu mencapai titik ideal ketika substansi dan formalitas demokrasi berjalan pada level yang sama," katanya di Bandarlampung, Selasa.

Artinya, lanjut dia, bangsa Indonesia masa kini telah memasuki tahap formalitas demokrasi dengan adanya pilkada, pilpres, pilgub, dan lainnya, yang berarti demokrasi telah berjalan baik.

Namun, dalam sisi lain substansinya masih sangat lemah. Hal itu ditandai dengan fenomena seperti pilkada masih diwarnai dengan politik uang, tingkat partisipasi politik yang rendah, dan bentuk-bentuk pragmatisme politik lainnya.

Arizka, sapaan akrabnya menjelaskan, demokratisasi yang ideal adalah proses demokrasi yang mampu menyeimbangkan antara formalitas dan substansi demokrasi.

"Tetapi memang, untuk menyelaraskan antara formalitas dan substansi demokrasi itu perlu didukung dengan tingkat pendidikan dan tingkat kesejahteraan masyarakat," katanya.

Karena itu, tugas utama pemerintahan SBY-Boediono adalah bagaimana dua indikator utama itu dapat di-upgrade sehingga pelaksanaan demokrasi di Indonesia dapat berjalan lebih baik.

"Tanpa itu, demokrasi di Indonesia hanya akan sebatas formalitas saja. Contoh buruk yang konkret dan akan berdampak negatif bagi perjalanan demokrasi di negara ini adalah pemilih dalam pilkada lebih menyukai `isi tas` calon dibandingkan dengan kapasitas dan kapabilitas calon kepala daerah," ujarnya.

Dia menjelaskan, kemenangan SBY-Boediono yang mencapai angka absolut lebih dari 60 persen memberikan suatu legitimasi yang kuat di masyarakat secara politik.

"Seharusnya dengan angka keterpilihan yang lebih dari 60 persen, SBY harus berani melakukan kemandirian politik," katanya.

"SBY-Boediono sepatutnya lebih mengedepankan presidensialisme dibandingkan parlementerisme. Artinya, kesalahan mendasar yang dilakukan pasangan ini adalah dalam konteks presidensial, terlalu banyak melakukan akomodasi politik akhirnya mengakibatkan pemerintahan tidak berjalan efektif," katanya.

Pengajar ilmu politik di Fisip Unila itu menambahkan, dari sisi kinerja kementerian, ada beberapa yang tidak bekerja secara maksimal.

"Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kelima kementerian inilah yang menurut saya memiliki kinerja kurang baik," katanya.

Kementerian hukum dan HAM, ujarnya, masih belum maksimal dalam menjalankan penegakan hukum. Sikap tebang pilih itu masih sangat terasa, hingga saat ini tubuh lembaga peradilan masih banyak indikasi pungli-pungli serta mafia kasus yang berseliweran, dan masih banyak juga kasus hukum yang tidak terungkap.

Kemudian, Kementerian Pertahanan, misalkan persoalan batas wilayah kedaulatan negara dan kejahatan transnasional masih relatif tinggi kasusnya.

"Kementerian Perhubungan belum mampu mengelola bidang transportasi massal dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari masih tingginya tingkat kecelakaan moda transportasi," katanya.

Selanjutnya, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Tenaga Kerja belum mampu menunjukkan peningkatan kinerja terhadap advokasi TKI dan TKW di luar negeri.

"Baiknya, untuk meningkatkan kinerja kementerian, SBY-Boediono harus berani menerapkan target-target yang bersifat kuantitatif per kementerian, sehingga setiap tahun kinerja kementerian itu dapat diukur secara objektif," ujarnya.

(T013/H009/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010