Bogor (ANTARA News) - Salah satu pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia Dr Ir Ricky Avenzora, MScF menyatakan pembangunan kebudayaan tidak boleh dijadikan sebagai sekadar komoditas pariwisata.

"Menjadikan budaya hanya sebagai komoditas pariwisata yang terjadi seperti selama ini hanya akan menghancurkan berbagai budaya asli Indonesia," kata salah satu dari 88 tokoh pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo) itu di Bogor, Jawa Barat,
Rabu.

Ia menyampaikan hal itu berkaitan dengan peringatan Sumpah Pemuda pada yang diperingati setiap 28 Oktober.

Sebanyak 88 tokoh nasional, pada awal Juni 2006 mendeklarasikan Pernasindo, di mana Kwik Kian Gie menjadi Ketua Presidium, yakni sebuah perhimpunan yang diharapkan dapat menjadi organisasi pemikir visi kebangsaan ini, ingin mendorong kemandirian bangsa.

Di antara tokoh deklarator adalah mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, sejarawan LIPI Asvi Warman Adam, Christianus Siner Key Timu dari Petisi 50, Guruh Soekarnoputra, Jaya Suprana, Marissa Haque,

Luhut MP Pangaribuan, ekonom Universitas Gadjah Mada Revrisond Baswir, mantan Wakil Ketua Komnas-HAM Salahuddin Wahid, Sri Edi Swasono, Aria Bima, anggota DPR-RI, dan mantan anggota DPR-RI, Bambang Warih Kusuma, dan mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Ermaya Suradinata.

Menurut Ricky Avenzora, terkait semangat Sumpah Pemuda dalam konteks pariwisata, Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Jero Wacik perlu dibantu untuk tidak menjadikan aspek budaya, yang menjadi salah satu tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Kementerian Budaya dan Pariwisata, hanya sebagai komoditas daya tarik dan objek pariwisata belaka.

Ia mengatakan bahwa tupoksi dalam aspek budaya harus dituangkan dalam langkah-langkah strategis dan efektif untuk bisa tetap hidup dan bisa berkembangnya berbagai budaya tradisional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia secara baik dan benar.

Dikemukakannya bahwa pemahaman dan keseriusan Menteri Jero Wacik atas aspek budaya yang menjadi tupoksi harus mampu dia tunjukkan dengan suatu kebangkitan kembali denyut nadi dan gerak para seniman dan budayawan di Indonesia secara baik dan benar.


Ditegaskannya bahwa pentingnya pemberdayaan budaya ini harus juga disadari oleh para politisi dan anggota legislatif sehingga mereka mendukung alokasi pendanaan pemberdayaan budaya Indonesia.

"Kita semua perlu sadar bahwa dinamika politik-kebudayaan antarbangsa setiap tahun belakangan ini sesungguhnya adalah sangat tajam dan akan menjadi ancaman yang sangat serius bagi setiap bangsa yang tidak sadar akan pemberdayaan budaya bangsanya," kata Ricky Avenzora yang juga staf pengajar di Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.

Ia mengatakan, jika negara maju melakukan banyak penetrasi budaya melalui produk teknologi mereka dan kekuatan ekonomi dan politik mereka, berbagai kiprah dan "kelucuan" yang dibuat Malaysia selama satu dekade belakangan ini juga adalah salah satu contoh persaingan politik kebudayaan.

Meskipun banyak hal "lucu" yang mereka buat, seperti pengakuan sepihak atas budaya Indonesia, hal itu tidak boleh hanya disikapi dengan main-main.

"Kegagalan kita menjaga dan mendapatkan posisi tawar dalam percaturan politik kebudayaan dunia tidak hanya akan menghancurkan identitas bangsa (yang bisa berujung pada runtuhnya bangsa itu sendiri), melainkan juga akan sangat merugikan secara ekonomi," kata doktor lulusan Universitas George August Gottingen Jerman itu.(*)
(A035/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010