Jakarta (ANTARA News) - Mengingat jasa-jasanya pada Negara dan bangsa, Jenderal Besar HM Soeharto pantas mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional, sekaligus menjadi momentum mempercepat loncatan psikologis proses rekonsiliasi nasional.

Demikian salah satu benang merah kesimpulan Diskusi Tematis tentang "Sumpah Pemuda dan Pahlawan Nasional, di Jakarta, Kamis, yang digelar oleh Institut Studi Nusantara, Lembaga Kajian Kebangsaan, `Indopolling` dan Yayasan Malesung Indonesia.

Direktur Eksektutif Lembaga Kajian Kebangsaan (LKK), Viktus Murin dalam resume pemaparannya juga mengingatkan, bangsa ini jangan dibiarkan terus tenggelam dalam kubangan dendam politik masa lalu.

"Indonesia tak bakal tumbuh sebagai negara yang maju dan disegani, apabila terus terjebak dendam politik," tandas mantan Sekjen Presidium Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ini.

GMNI merupakan salah satu organisasi mahasiswa yang ideologi perjuangannya berporos pada ajaran-ajaran Soekarno (Bung Karno), Presiden I Republik Indonesia.

"Proses simbolik rekonsiliasi itu, (di antaranya dengan pengangkatan Soeharto, Presiden II RI sebagai Pahlawan Nasional), mesti dilakukan dari dua arah. Yakni, dari persepktif Negara, dan perspektif korban," katanya.

Selain Viktus Murin, diskusi yang dimoderatori Direktur Institut Studi Nusantara (ISN), Kenly Poluan (juga mantan Ketua Umum PP GMKI), menampilkan pula dua pembicara lainnya. Yakni, Ade Reza Hariyadi (pakar politik Universitas Indonesia) dan Audy Wuysang (aktivis LSM).

Jika Negara mengangkat Pak Harto sebagai pahlawan nasional, demikian Viktus Murin, Pemerintah harus memberi kompensasi kepada semua korban kebijakan penguasa orde baru (Orba) ini.

Tetapi yang lebih penting dan amat bernilai dari pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan, menurutnya, ialah, adanya loncatan psikologis proses rekonsiliasi nasional.

"Ini yang mestinya mendapat atensi serius, agar segala konflik sejarah tidak diwariskan menjadi pusaka abadi anak-cucu negeri ini," ujar Viktus Murin.(M036/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010