Jakarta (ANTARA News) - Definisi deforestasi yang digunakan oleh LSM lingkungan internasional Greenpeace berbeda dengan definisi menurut pemerintah sehingga sering terjadi perbedaan pendapat, kata peneliti dari Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Yanto Santosa.

"Deforestasi yang didefinisikan Greenpeace adalah pengurangan areal berhutan," kata Yanto di Jakarta, Senin, mengenai kontroversi kerusakan hutan antara Greenpeace dan perusahaan SMART.

Sedangkan definisi dari pemerintah Indonesia adalah pengurangan kawasan hutan, kata Yanto. Menurut Yanto, kedua definisi ini jelas berbeda karena yang dipakai Greenpeace mengandung pengertian pengurangan areal yang di dalamnya tumbuh pohon-pohon, baik alang-alang, perdu, dan lain-lain.

Greenpeace tetap berpegang kepada definisinya walaupun dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sudah ditetapkan bahwa areal tersebut sebagai kawasan pengembangan perkebunan, katanya.

Bagi mereka, katanya, areal berhutan itu semua jenis lahan yang di dalamnya tumbuh pepohonan. Tidak peduli mengenai statusnya, apakah itu areal bekas HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang ditinggalkan, sehingga menjadi areal yang ditumbuhi alang-alang atau lahan hutan konservasi dan hutan alami. Inilah yang menyebabkan data Greenpeace menjadi perdebatan, ujar Yanto.

Sebelumnya dalam suatu pemberitaan Yanto Santosa juga mengatakan, tuduhan Greenpeace berkait isu deforestasi berdasarkan terminologi hukum Indonesia ternyata tidak terbukti.

Sebelas perusahaan yang diduga memicu deforestasi ternyata juga dibangun di areal yang bukan kawasan hutan. "Tim juga menemukan, delapan dari 11 perusahaan ternyata beroperasi sebelum memiliki izin analisis dampak lingkungan. Hal ini ternyata wujud kepatuhan perusahaan terhadap peraturan lokal, yang walaupun melanggar undang-undang nasional, dan bupati memberikan izin usaha perkebunan sebelum analisis lingkungan selesai," katanya.

Greenpeace menuding SMART melanggar asas kelestarian dalam memproduksi minyak kelapa sawit mentah dengan menanami lahan gambut sedalam lebih dari tiga meter dan mengurangi luas hutan hujan tropis dengan ekspansi lahan. SMART membantah hal ini.

Selanjutnya auditor independen Control Union Certification dan BSI Group serta pakar ekologi dan konservasi kehutanan Institut Pertanian Bogor Bambang Hero Saharjo dan Yanto Santosa meneliti tuduhan tersebut.
(U002/H-KWR)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010