Saya sangat menyayangkan prilaku wali kota dan ajudannya yang menghambat kerja jurnalis yang sedang mencari informasi
Tanjungpinang (ANTARA) -
Akademisi dari Universitas Pakuan Bogor, Jawa Barat, Andi Muhammad Asrun berpendapat orang-orang yang menghambat kerja jurnalis memiliki ciri-ciri sikap feodalis.

"Menghambat kerja jurnalis adalah ciri dari feodalisme. Ini tentu tidak baik di era reformasi," kata Andi, dalam keterangan resminya yang diterima ANTARA di Tanjungpinang, Jumat.

Pernyataan Andi tersebut menyusul insiden seorang wartawan media daring yang dihalang-halangi ajudan Wali Kota Tanjungpinang Rahma saat ingin mewawancarai orang nomor satu di Ibu kota Kepulauan Riau itu.

Baca juga: Polisi usut penganiayaan pemred media daring di Gorontalo

“Saya sangat menyayangkan prilaku wali kota dan ajudannya yang menghambat kerja jurnalis yang sedang mencari informasi,” ujar Andi.

Mantan pengacara Pemprov Kepri tersebut menegaskan, sikap tertutup tersebut bisa ditafsirkan ada masalah yang mau ditutupi.

Menurutnya, seharusnya wali kota meniru gaya kepala daerah yang lain, seperti eks Gubernur Kepri Nurdin Basirun yang terbuka terhadap media. Nurdin mau melayani reporter yang melakukan "doorstop" wawancara.

Baca juga: Polda Sumut periksa 34 saksi terkait kasus penembakan jurnalis

“Menghadapi perilaku tertutup Wali Kota Tanjungpinang, saya sarankan agar wartawan melakukan investigatif reporting. Bila tetap menghalang-halangi kerja jurnalistik, laporkan ke Menteri Dalam Negeri sebagai pembina Kepala Daerah,” tegasnya.

UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, pada dasarnya pers mempunyai kemerdekaan dalam menjalankan profesinya. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi yang sesuai.

Baca juga: Pengamat: Kekerasan terhadap jurnalis ancaman serius kebebasan pers

Penegasan tersebut tertuang pada pasal 4 ayat 3 UU Nomor 40/1999 tentang Pers. Ini berarti pers tidak dapat dilarang untuk menyebarkan suatu berita atau informasi jika memang hal tersebut berguna untuk kepentingan publik.

“Dalam melaksanakan tugas jurnalistik, pers/wartawan Indonesia harus menempuh cara-cara yang profesional (Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik). Artinya, pihak manapun harus menghormati kerja-kerja tersebut. Apalagi bagi seorang Walikota yang merupakan figur publik. Seharusnya turut mendukung kebebasan pers,” katanya.

Charles Sitompul, wartawan yang juga Ketua Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Tanjungpinang, yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari ajudan yang mengawal Rahma.

Charles mengejar Rahma untuk mengkonfirmasi persoalan terkait anggaran refocusing, penyerapan anggaran daerah pada semester pertama tahun 2021, bukan menyangkut permasalahan pribadinya yang sedang heboh saat ini.

"Saya mau konfirmasi soal kebijakan pemerintahan, namun yang terjadi justru dihalang-halangi," katanya.

Sejumlah wartawan pun mendapat perlakuan yang sama sebelumnya. Wartawan kesulitan mewawancarai Rahma. Namun kegiatan-kegiatan Rahma selalu disiarkan hanya oleh media tertentu.

"Kami beberapa kali ingin mewawancarainya, tetapi gagal. Ini aneh, karena biasanya kepala daerah dan pejabat yang membutuhkan wartawan," kata Ketua Ikatan Wartawan Online Tanjungpinang Iskandar.

AJI Kota Tanjungpinang menyayangkan sikap arogansi yang ditunjukan Wali Kota Tanjungpinang, Rahma bersama ajudannya yang terkesan menghalang-halangi kerja-kerja pers di lapangan untuk mendapatkan informasi. Apalagi rekan-rekan pers sudah menggunakan cara-cara yang profesional untuk melaksanakan kerja-kerja tersebut.

Pada dasarnya pers mempunyai kemerdekaan dalam menjalankan profesinya. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi sesuai dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers (Pasal 4 ayat (3). Ini berarti pers tidak dapat dilarang untuk menyebarkan suatu berita atau informasi jika memang hal tersebut berguna untuk kepentingan publik.

“Dalam melaksanakan tugas jurnalistik, pers/wartawan Indonesia harus menempuh cara-cara yang profesional (Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik). Artinya, pihak manapun harus menghormati kerja-kerja tersebut. Apalagi bagi seorang wali kota yang merupakan figur publik. Seharusnya turut mendukung kebebasan pers,” katanya.

Karena sudah beberapa kali berganti Wali Kota di Kota Tanjungpinang ini, belum ditemukan adanya tindakan-tindakan yang seperti ini. Dalam hal ini, jurnalis bekerja untuk mengabarkan informasi yang layak dipubliksi. Tidak ada alasan mengusir, dan menolak wartawan saat akan melakukan kegiatan peliputan, sepanjang sudah dilakukan dengan cara-cara yang profesional sesuai dengan kode etik jurnalistik.

“Sebagai pejabat publik, Wali kota harus memberikan ruang konfirmasi kepada jurnalis. Sikap ini menunjukkan ia mendukung kebebasan pers dan memahami kedudukan UU Pers,” katanya.
 

Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2021