Tangerang (ANTARA News) - Bagi sebagian penduduk di Indonesia yang memiliki uang berlebih, berobat ke luar negeri agaknya merupakan suatu keharusan, namun bila keuangan pas-pasan tentu berobat pada rumah sakit lokal sudah cukup.

"Saat ini tidak perlu lagi berobat ke luar negeri karena semua dokter di Indonesia sudah dapat menangani berbagai penyakit termasuk operasi bedah saraf," kata Untung Alifianto, seorang dokter RS Moewardi Solo, Jateng, yang dihubungi, Senin.

Menurut dia, berobat ke luar negeri hanya `membeli gengsi`, padahal para dokter di Indonesia sudah mampu mengobati aneka penyakit termasuk yang paling sulit, seperti penyakit tumor yang ada di kepala dengan cara bedah batang tengkorak.

Untung Alifianto merupakan salah satu peserta seminar Internasional yang diikuti sekitar 200 ahli bedah saraf se-dunia yang digelar di Nusa Dua, Bali pada 8-13 Nomperber 2010.

Dia mengatakan, rata-rata 23 hingga 25 pasien yang berobat ke RS Moewardi Solo, berhasil disembuhkan, meski dengan peralatan yang belum maksimal.

Bahkan pihaknya pernah melakukan operasi tumor yang ada di tengkorak letaknya berada pada di belakang mata, namun pasien tersebut setelah dioperasi kembali normal seperti biasa.

Dia mengimbau biasanya bagi penduduk yang mampu tapi sakit langsung berobat ke Singapura, ke Amerika atau ke Jerman atau negara Eropa lainnya.

Padahal, khusus untuk bedah saraf bahwa sejumlah dokter di Indonesia dengan sumber daya manusia yang ada sudah mampu mengobati pasien dengan tingkat risiko kematian paling rendah.

Selain itu, dokter ahli bedah saraf dari RS Hasan Sadikin Bandung, Jabar, Ipung Arifin mengatakan senada, bahwa berobat ke luar negeri merupakan hak seseorang, namun sebaiknya berobat saja di Indonesia karena beberapa rumah sakit sudah mampu menanggani berbagai penyakit dengan biaya relatif murah.

Pendapat serupa juga diutarakan Prof Dr. CH. B.Lumenta, bahwa meski telah sekitar 40 tahun bermukim dan menjadi Warga Negara Jerman, tapi hampir setiap tahun dia pulang ke Indonesia dan memperhatikan perkembangan ilmu kedokteran di Indonesia termasuk bedah saraf.

Pimpinan bedah saraf pada Universitas Dusseldorf, Jerman itu selalu memantau perkembangan operasi bedah saraf di berbagai rumah sakit di Indonesia.

Bahkan Lumenta selalu diskusi dengan salah satu rekannya yakni Prof. Dr. Eka Julianta Wahjoeparmono, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan (UPH) Karawaci Tangerang, Banten, termasuk perkembangan bedah di RS Siloam yang dikelola Eka.

Lumenta mengatakan, perkembangan bedah saraf sejak lima tahun terakhir ini sangat pesat, meski belum didukung oleh peralatan yang memadai saat operasi.

Namun, masalah tersebut karena didukung oleh sumber daya manusia kedokteran di Indonesia yang dianggap tidak kalah dari luar negeri.

Menurut Lumenta, jika tidak perlu benar, maka sebaiknya berobat ke luar negeri dibatalkan saja karena para dokter ahli bedah di Indonesia sudah memadai kemampuannya.

Presiden Akademi Bedah Saraf Dunia (Word Academy Of Neorological Surgery), Prof. Dr Peter Black asal Amerika Serikat, ketika menghadiri seminar bedah saraf di Nusa Dua Bali juga merasa kagum dengan perkembangan ilmu kedokteran di Indonesia terutama bedah batang tengkorak.

Peter Black semula tidak yakin dengan perkembangan bedah saraf di Indonesia yang lebih maju dibanding berbagai negera lain di ASEAN, setelah melihat langsung operasi bedah tengkorak di UPH Karawaci, maka keyakinannya terus bertambah.

Demikian pula ahli bedah saraf dari Jepang, Prof. Dr. Takeshi Kawase tidak henti memuji keberhasilan bedah tumor di Indonesia sehingga harus membedah batang tengkorak.


Penderita tumor

Sementara itu, Dekan FK-UPH Karawaci Prof Dr Eka Julianta Wahjoeparmono mengatakan, peralatan kedokteran dengan nama "Gama Knife" dapat mengatasi penderita penyakit tumor yang sulit dideteksi dengan cara tanpa operasi.

"Saat ini peralatan `Gama knife` itu tidak ada di Indonesia karena harganya mahal, maka salah satu penyebab penderita tumor terpaksa berobat ke luar negeri," katanya.

Dia mengatakan bila ada pasien yang menderita penyakit tumor pada kepala lalu sulit dideteksi termasuk dengan operasi karena keterbatasan alat untuk membuangnya, maka bila ada "Gama Knife" itu dapat dilakukan dengan cara "ditembak" menggnakan sinar laser.

Meski harga "Gama Knife" itu senilai enam juta dolar AS, namun pihak UPH Karawaci, Tangerang akan mewujudkan dengan cara membelinya pada awal 2011.

Menurut Presiden Organisasi Bedah Syaraf Asia dan Oceania itu, untuk membeli peralatan tersebut, maka pihaknya sengaja mencari investor dari Amerika Serikat untuk mewujudkan keinginan tersebut.

Eka menyesalkan banyaknya penderita tumor yang berobat ke luar negeri dengan biaya yang mahal, padahal bila alat itu ada dapat diatasi para ahli bedah syaraf di Indonesia.

Menyangkut sumber daya manusia terkait dokter bedah saraf, maka Indonesia tidak kalah dari negara lain, meski peralatan penunjang operasi bedah sangat terbatas.

Beberapa pasien dari negara lain seperti Singapura, Hongkong, Malaysia, Belanda, Kanada, Swiss dan Amerika Serikat dirawat dan operasi di RS Siloam Karawaci dengan biaya relatif murah.

Sebagai contoh, katanya, bila ada pasien yang sarafnya terjepit jika dioperasi di Singapura harus mengeluarkan dana sebesar Rp400 juta, namun di Karawaci hanya Rp60 juta.

Demikian pula bila ada pasien menderita pecah pembuluh darah di otak, jika berobat ke Amerika mengeluarkan dana sebesar Rp25 miliar, tapi bila di RS Siloam hanya Rp500 juta.

Eka memberikan contoh bahwa untuk operasi tumor yang sulit dideteksi itu, maka warga Indonesia harus mengeluarkan uang mencapai Rp130 juta bila berobat ke Singapura dan bila ke Taiwan sebesar Rp75 juta.

Namun begitu, pihaknya melakukan operasi tumor di RS Siloam, Karawaci, dengan pasien sekitar 300 pasien/tahun.

Jika peralatan "Gama Knife" itu terwujud minimal dapat mengurangi jumlah pasien yang menderita penyakit gila bila dideteksi dengan alat tersebut.

Salah satu niat untuk mewujudkan "Gama Knife" adalah agar pasien tidak perlu berobat ke luar negeri, karena di Indonesia sudah lengkat peralatan penunjang medis dan dokter ahli juga sudah tersedia. (A047/K004)

Oleh Oleh Adityawarman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010