Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi VI DPR yang membidangi BUMN mempertanyakan rencana penggabungan produk layanan telepon seluler CDMA Flexi milik PT Telkom , dengan produk layanan serupa, yakni Esia karena dinilai akan merugikan Telkom.

"Sebagai market leader, Flexi mestinya berada pada posisi yang lebih kuat untuk mengendalikan pasar, memenangkan persaingan dan mengambil keuntungan yang optimal, baik short term maupun long term," kata anggota Komisi VI DPR, Erik Satrya Wardhana, Selasa, di Jakarta, menanggapi rencana merger Flexi-Esia yang saat ini sedang dipersiapkan manajemen PT Telkom.

Dalam posisinya itu seharusnya tidak ada alasan bagi Telkom untuk melego Flexi dengan cara apa pun, karena itu berarti melepas peluang emas untuk mendulang laba di masa yang akan datang," kata anggota Komisi VI DPR.

Erik yang berasal dari Fraksi Partai Hanura ini lebih jauh menjelaskan, saat ini Telkom dengan Flexinya merupakan pemain dengan pangsa terbesar dalam bisnis telepon selular yang berbasis CDMA, menguasai sekitar 55 persen.

Kalau misalnya Telkom belum bisa membukukan keuntungan yang layak dari Flexi, yang seharusnya dilakukan manajemen Telkom justru memperbaiki kinerja perusahaan, melakukan efisiensi, meningkatkan inovasi-inovasi pemasaran dan teknologi.

Bukan justru melego atau menggabungkan Flexi dengan Esia yang notabene merupakan pesaing utamanya dalam bisnis CDMA.

Pendapat hampir senada juga dikemukakan anggota Komisi VI DPR lainnya, Azam Azman Natawijaya, secara terpisah.

Menurut anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat ini, sebelum menggabungkan Flexi dengan Esia, harus dilihat secara rinci dulu apa saja manfaat yang bakal diperoleh Telkom yang berstatus BUMN setelah penggabungan itu.

Salah satu contohnya, berapa kewajiban atau utang masing-masing pihak, baik dari pengelola Flexi maupun Esia sehingga setelah digabung justru tidak menjadi beban bagi Flexi, ucapnya.

Erik menilai, rencana penggabungan Flexi dengan Esia sebagaimana yang sudah diketahui publik saat ini, bisa dikategorikan sebagai pelepasan aset negara.

Pelepasan aset negara ini, selain harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya bagi negara. Pemerintah, katanya, tidak bisa serta merta memberikan persetujuan terhadap rencana tersebut.

Apalagi, hal ini menyangkut nasib begitu banyak karyawan. Mengingat posisi Flexi yang masih menjadi market leader dalam bisnis CDMA ditambah keunggulan infrastruktur dan jangkauan yang tidak tertandingi, mestinya pemerintah menolak rencana penggabungan tersebut.

Selain itu, lanjut Erik, rencana penggabungan Flexi dengan Esia juga bertentangan dengan etika bisnis dan persaingan usaha. Sebab, jika jadi dilaksanakan maka 96 persen pangsa pasar CDMA akan dikuasai oleh gabungan usaha tersebut.

Terjadi monopoli yang tentu saja akan membuat pasar CDMA menjadi tidak lagi efisien seperti sekarang ini. Sangat mungkin tarif CDMA yang saat ini bisa terjangkau kocek rakyat kecil, hanya sekitar seperempatnya saja dari tarif GSM, akan meningkat dua atau bahkan tiga kali lipat.(*)

(T.h-CS/A011/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010