Sanaa (ANTARA News/AFP) - Serangan bom mobil bunuh diri menewaskan 23 orang Syiah yang sedang berkumpul untuk acara keagamaan di Yaman, Rabu.

Seorang pemimpin suku menuduh Al-Qaeda sebagai dalang serangan tersebut dalam upaya mengobarkan ketegangan sektarian di negara yang sudah dilanda pergolakan itu.

Sejumlah sesepuh suku menyatakan, semua korban tewas adalah pendukung kelompok gerilya Syiah Zaidi yang melakukan gencatan senjata dengan pemerintah pada Februari.

Serangan itu terjadi di provinsi Al-Jawf, sebuah pangkalan gerilya di wilayah utara jauh, ketika warga Syiah sedang bersiap-siap menyambut Al-Ghadeer, hari dimana orang Syiah memperingati pembubuhan minyak pada Ali, salah seorang ulama utama dalam keyakinan mereka, sebagai penerus Nabi Muhammad.

"Itu adalah serangan bom bunuh diri dan dilakukan oleh Al-Qaeda," kata kepala suku itu.

"Penyerang yang mengendarai mobil roda empat meledakkan dirinya di sepanjang arak-arakan," katanya.

"Diantara mereka yang tewas adalah kepala suku provinsi Hussein bin Ahmed bin Hadhban dan putranya," tambahnya.

Serangan-serangan gerilya fanatik Sunni biasanya dilakukan di Sanaa, ibukota Yaman, dan di wilayah selatan serta timur yang berpenduduk mayoritas Sunni, bukan di wilayah utara yang mayoritas Zaidi.

Juru bicara kelompok gerilya Zaidi Mohammed Abdulsalam mengatakan kepada AFP melalui telefon, serangan itu merupakan upaya "badan-badan intelijen AS dan Israel untuk menjebloskan Yaman ke dalam konflik suku dan keyakinan".

Seorang pemimpin suku mengatakan, 11 korban tewas yang semuanya pendukung gerilyawan segera dimakamkan sesuai dengan tradisi muslim.

"Mayat 12 orang lain, semuanya gerilyawan Huthi, dibawa oleh kelompok pemberontak tersebut," tambahnya, menunjuk pada sebutan lain untuk gerilyawan Zaidi.

Serangan mematikan Rabu itu terjadi sehari setelah Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) mengungkapkan kekhawatiran atas peningkatan kekerasan di Yaman bagian utara, meski gencatan senjata telah berlangsung selama sembilan bulan.

Badan itu menyebutkan laporan-laporan mengenai meletusnya bentrokan-bentrokan antara gerilyawan dan suku pro-pemerintah di provinsi Saada sejak 13 November.

"Sedikitnya 20 orang dikabarkan tewas dan beberapa lain terluka dalam 10 hari terakhir dalam kekerasan terburuk di Yaman utara sejak penandatanganan gencatan senjata pada Februari," kata juru bicara UNHCR Andrej Mahecic, Selasa.

Yaman adalah negara leluhur pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.

Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.

Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh telah mendesak rakyat Yaman tidak mendengarkan seruan-seruan pemisahan diri, yang katanya sama dengan pengkhianatan.

Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaeda memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.

Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaeda AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal.

AQAP menyatakan pada akhir Desember 2009, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan.

Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaeda. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia.

Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini. (M014/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010