Jakarta (ANTARA News) - Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai tidak ada sistem monarkhi di lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesia terkait posisi Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, dinilai salah alamat.

"Memang benar Indonesia tak mengenal lagi sistem monarkhi, karena bentuk negara adalah republik, bukan kerajaan. Tetapi kami menilai pernyataan itu salah alamat," kata salah satu pimpinan Fraksi PDI Perjuangan di DPR, Aria Bima,di Jakarta, Selasa.

Menurutnya, jabatan Sultan (Raja) Yogya yang disandang Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X hanya bermakna budaya atau tradisi.

"Gelar sultan tidak memiliki kekuasaan yang nyata seperti raja dalam sistem kerajaan atau monarkhi," ujarnya.

Dalam sistem monarkhi konstitusional seperti Malaysia atau Inggris pun, raja atau sultan tidak memiliki kekuasaan menjalankan pemerintahan.

"Raja hanya menjadi kepala negara yang lebih bermakna simbolis. Lalu, ada pun Sultan HB X sekaligus menjadi gubernur karena terkait status Keistimewaan DIY dan Keraton Yogyakarta sebagai salah satu pendukung utama NKRI pada masa awal kemerdekaan," katanya.

Walaupun begitu,Sultan HB X sebagai gubernur tetap tunduk kepada Pemerintah Pusat atau Presiden, dan hanya menjadi kepala pemerintahan provinsi, bukan mengepalai sebuah kerajaan.

"Ikhwal kaitan Sultan dengan Keraton Yogyakarta hanya bermakna secara budaya atau tradisi," katanya.

Seperti diberitakan berbagai media, dalam rapat kabinet terbatas Sabtu (27/10), Presiden menyatakan, tidak mungkin Indonesia menerapkan sistem monarki, karena akan bertabrakan baik dengan konsitusi maupun nilai demokrasi.

Pernyataan Yudhoyono ini terkait dengan proses pembuatan Rancangan Undang Undang (RUU) Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang molor dari jadwal, karena seharusnya sudah rampung dalam 100 hari Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid dua ini.

Aria Bima menjelaskan, sesuai status DIY sebagai daerah istimewa, tidak masalah gubernur DIY tidak dipilih langsung, melainkan ditetapkan oleh DPRD Provinsi DIY atau Pemerintah Pusat.

"Hal itu bukan berarti melanggar prinsip demokrasi, karena para walikota di Provinsi DKI Jakarta pun tidak ada yang dipilih melalui Pilkada, karena Jakarta menyandang status daerah khusus atau keistimewaan tersendiri," jelasnya.

Selain itu juga, lanjutnya, ini tidak melanggar konstitusi, karena Pasal 18A ayat 1 UUD 1945 menghargai kekhususan dan keragaman daerah.

"Seperti dalam kasus otonomi khusus Papua atau penerapan syariat Islam dan pembentukan partai-partai lokal di Aceh. Satu-satunya keistimewaan DIY yang diberikan oleh negara, ya dalam penetapan gubernur dan wakil gubernur, yang masing-masing otomatis dijabat oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam," ujarnya.
(ANT/A024)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010