Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam arahannya saat sidang kabinet pekan lalu mengatakan, agar semua tatanan kenegaraan terwadahi. UUD, Keistimewaan Yogyakarta, NKRI sebagai konsensus bangsa, juga azas demokrasi yang kita terus kembangkan.

Menurut Staf Khusus Presiden Bidang Informasi dan Public Relations, Heru Lelono, mengatakan, Presiden Yudhoyono malah mengatakan, saat itu tidak membuka diskusi tentang hal itu dalam sidang kabinet, karena masih minta Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, untuk mengkaji alternatif yang ada.

"Presiden Yudhoyono meminta kepada Mendagri dan tim untuk secara luas mensosialisasikan konsepnya, agar lebih banyak masukan yang bermanfaat buat perkembangan masyarakat Yogyakarta.

Apa yang diminta Presiden Yudhoyono adalah untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara utuh, dan tidak terpisah-pisah.

"Intinya yang kita bangun adalah NKRI bukan satu daerah saja, walau tetap menghormati keistimewaan sebuah daerah. Keiistimewaan inilah yang perlu terus dikaji, sampai lahir UU yang terbaik buat hari ini dan masa depan," kata Heru.

Heru mengatakan, dalam sidang kabinet,Gamawan Fauzi mempresentasi beberapa hal, termasuk hasil kajian sementara RUU DIY Jogyakarta.

"Dalam paparannya dikemukakan, ada 4(empat) opsi yang telah dibicarakan awal dengan DPR dan berbagai pihak. Salah satu alternatifnya, adalah secara otomatis Sri Sultan jadi gubernur," kata dia.

ia juga menyesalkan pernyataan Ketua DPD Partai Demokrat (PD) Yogyakarta, GBPH Prabukusumo, yang ingin mengembalikan Kartu Tanda Anggota Partai Demokrat bila posisi Gubernur Jogyakarta dipisahkan dari Sultan.

Permasalahan soal RUU DIY Jogyakarta sudah keluar dari kontek yang sebenarnya. Wacana tentang RUU DIY Jogyakarta dengan segala komentarnya, termasuk dari adik Sri Sultan Hemangkubuwono X, GBPH Prabukusumo, tampaknya lari dari konteks proses yang sebenarnya sedang terjadi," kata Heru.

Oleh karenanya, harus dicarikan titik temu terbaik, misalnya fakta bahwa seluruh wilayah Propinsi Jogyakarta, empat kabupaten dan satu kotamadya.

"Proses pemilihan Kepala Daerah-nya dilakukan secara demokratis melalui Pilkada. Artinya masyarakat Yogyakarta sudah memahami proses politik yang berlaku," kata Heru.

Bagaimanapun, lanjut Heru, menghormati sejarah keberadaan keraton Yogyakarta harus juga menjadi pertimbangan.

"Penentu lahirnya UU Jogyakarta nanti, tentu adalah Pemerintah bersama DPR sebagai wakil rakyat. Untuk itu apapun keputusannya nanti, pemerintah dalam hal ini Presiden pasti akan menjalankan dan menghormatinya," kata Heru Lelono.

Sebelumnya, Ketua DPD Partai Demokrat (PD) Yogyakarta, GBPH Prabukusumo, menolak wacana posisi Gubernur dipisahkan dari Sultan. Dia siap hengkang dari PD bila pemerintahan SBY memutuskan menggelar Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) DI Yogyakarta.

"Maka, bila memang PD dan Pemerintah menghendaki Pemilukada, walau KTA (kartu tanda anggota) PD ini adalah kebanggaan saya, tapi akan saya kembalikan ke DPP," kata Prabu.

Ia berpendapat memisahkan antara jabatan Gubernur dari Sultan sama artinya memangkas kesejarahan Sri Sultan HB IX dalam memperjuangkan NKRI.

"Prinsipnya secara pribadi, saya akan perjuangkan harga diri, harkat dan martabat orang tua saya, swargi HB IX, yang telah sungguh-sungguh mengukir sejarah bangsa ini. Bila dipisahkan, maka faktor sejarah itu akan berkurang. Meski perjuangan beliau adalah suatu kewajiban," kata Prabu.
(ANT/P003)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010