adanya celah hukum, kelemahan substansi maupun kelemahan prosedural
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Marsya Handayani mengatakan masih terdapat isu dalam implementasi Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) untuk memberikan perlindungan terhadap pejuang lingkungan dan HAM.

Marsya menjelaskan bahwa mekanisme Anti-SLAPP sudah ada di UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pasal 66.

"Tapi sebenarnya pasal 66 belum beroperasi secara efektif karena adanya celah hukum, kelemahan substansi maupun kelemahan prosedural," kata Marsya dalam diskusi virtual tentang upaya perlindungan pembela HAM bidang lingkungan yang dipantau dari Jakarta pada Selasa.

SLAPP sendiri adalah gugatan strategis yang dilakukan untuk mengintimidasi dan menekan kritik yang bertujuan membebani dengan biaya proses hukum. Gugatan SLAPP bisa teridentifikasi ketika terjadi pengaduan masyarakat kepada otoritas yang berakibat pada serangan balik terhadap pelapor.

Dalam pasal tersebut dinyatakan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Baca juga: Komnas HAM: Kurang pemahaman pentingnya aktivis HAM dan lingkungan
Baca juga: Sejumlah aktivis minta Komnas HAM beri Veronica Koman perlindungan


Namun di dalam penjelasan pasal tersebut, menurut Marsya, membatasi subjeknya kepada korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum.

"Padahal perjuangan lingkungan hidup tidak hanya ditempuh melalui cara hukum," tegasnya.

Pelanggaran HAM atas perjuangan lingkungan itu sendiri masih terjadi dan berdasarkan data Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), terdapat 10 peristiwa yang melibatkan pelanggaran HAM pada pembela lingkungan dalam periode Januari-April 2021.

Tindakan pelanggaran itu termasuk penangkapan, serangan fisik dan penahanan yang terkait dengan kegiatan pembelaan HAM di sektor agraria, lingkungan dan infrastruktur.

Mayoritas identitas korban individu dalam 10 peristiwa itu adalah masyarakat adat.

Baca juga: PBB desak perlindungan lebih terhadap jurnalis, aktivis HAM di Meksiko
Baca juga: LPSK menawarkan perlindungan aktivis lingkungan NTB korban penyerangan


Dalam diskusi tersebut, Komisioner Komnas HAM Hairansyah mengatakan adanya tren potensi pelanggaran terhadap hak kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia digital termasuk untuk pembela HAM di bidang lingkungan.

"Komnas HAM melihat tren potensi pelanggaran hak-hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang semakin nyata utamanya di dunia digital," katanya.

Salah satu yang berpotensi mengalami ancaman tersebut adalah pembela HAM di bidang lingkungan, yang menghadapi potensi intimidasi melalui penyebaran informasi pribadi dan kriminalisasi.

Namun, meski upaya perlindungan HAM di bidang lingkungan menghadapi jalan terjal dan berliku tapi dia optimis untuk mencapainya.

"Selain terjal juga berliku tapi yang paling penting adalah bukan jalan buntu. Masih ada asa dan optimisme yang bisa kita bangun melalui berbagai macam hal," demikian Hairansyah.

Baca juga: Komnas HAM: Pembela lingkungan hadapi potensi ancaman di dunia digital
Baca juga: Komnas Perempuan sambut baik terbitnya Perpres RAN HAM

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021