Surabaya (ANTARA News) - Kebetulan atau tidak, Muktamar ke-5 Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) di Bogor pada 5-7 Desember 2010 agaknya terasa lebih istimewa.

Muktamar yang juga syukuran milad ke-20 organisasi yang didirikan pada 7 Desember 1990 tersebut digelar menyongsong Tahun Baru Islam 1 Muharam 1432 Hijriah pada 7 Desember 2010.

Tahun Baru Hijriah agaknya dapat menjadi "hijrah" bagi organisasi kaum intelektual Islam yang lahir di Malang dan saat ini "dipimpin" presidium yaitu Marwah Daud Ibrahim, Nanat Fatah Natsir, Hatta Rajasa, Muslimin Nasution dan Azyumardi Azra.

Apakah makna "hijrah" yang penting dilakukan oleh ICMI yang kini memiliki Organisasi Wilayah (Orwil) di Timur Tengah, Malaysia, dan Amerika Serikat itu?

"Dulu, ICMI di awal berdirinya memang mengambil lini-lini yang diperankan ormas Islam, tapi hal itu terjadi saat lini-lini ormas Islam mengalami stagnasi dan lemah," ucap Ketua ICMI Jatim H Ismail Nachu.

Namun, katanya, ICMI sekarang tidak boleh lagi melakukan "duplikasi" peran ormas Islam, melainkan ICMI harus melakukan "hijrah" peran yang bersifat terobosan.

"Terobosan peran ICMI itu adalah program aksi yang kami usulkan berupa ICMI mendorong lahirnya saudagar Islam dan menumbuhkan kelas menengah yang sangat dibutuhkan umat Islam," tukasnya.

Dalam konteks itu, ICMI Jatim mengusulkan pengembangan etos kewirausahaan (spirit entepreneurship) yang inheren dalam Islam melalui "up grade" Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

"Up grade etos UKM itu antara lain ikhtiar untuk menjadikan wirausaha sebagai `desain` dalam kehidupan, sehingga umat Islam yang menjadi pengusaha bukanlah karena warisan atau tradisi, melainkan memang benar-benar `desain` untuk menjadi saudagar," paparnya.

Oleh karena itu, katanya, ICMI harus segera menanggalkan atribut masa lalu yang melekat pada "jantung" kekuasaan dan menggantikan dengan atribut masa kini yakni atribut keilmuan untuk umat.

"Jangan lagi ada umat Islam yang tahu bahwa korupsi itu haram dalam Al Quran, tapi pelaku korupsi justru dari kalangan Muslim. Islam harus menjadi solusi dan bukan problem, karena itu perlu pembacaan ulang terhadap teks-teks Al Quran," katanya.

Ia menyatakan harapan besar banyak digantungkan kepada umat Islam, sebab bila umat Islam di Indonesia mampu menjadi solusi bagi dirinya sendiri, maka 90 persen persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia akan selesai.

"Karena itu, siapa yang memimpin ICMI bukan perkara yang rumit, yakni siapa pun bisa memimpin ICMI, asalkan dia merupakan pemimpin visioner dan memiliki otoritas penuh membawa ICMI kepada harapan umat," tegasnya.


Lokomotif Kemajuan

Harapan petinggi ICMI Jatim itu bukan sesuatu yang berlebihan, karena harapan akan adanya revitalisasi peran ICMI juga datang dari Gubernur Jawa Barat H Ahmad Heryawan pascapembukaan Muktamar ICMI V di Bogor (5/12).

"Sudah saatnya ICMI lahir kembali sebagai organisasi yang disegani sebagai lokomotif pembangunan Indonesia yang mandiri dan sejahtera. Itu harus menjadi cita-cita kebangkitan ICMI," katanya.

Agaknya, lokomotif kemajuan yang dimaksud tidak jauh berbeda dari harapan kebangkitan ICMI dalam mendorong lahirnya saudagar Muslim di Tanah Air.

"ICMI hadir untuk menjawab tuntutan masyarakat dalam memperkuat ekonomi kerakyatan," papar Sekretaris ICMI Orwil Bogor, Abidin Said.

Oleh karena itu, kata ketua panitia Muktamar V ICMI di Kota Bogor itu, muktamar kali ini diharapkan dapat dijadikan sebagai momentum yang tepat dalam merajut kembali asa tersebut.

"Saat ini gerakan ICMI difokuskan pada pemberdayaan ekonomi kerakyatan melalui pendirian BPR dan bank-bank syariah. Pengembangan perbankan syariah menjadi jalan yang tepat bagi ICMI dalam menggerakkan perekonomian umat," ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Dewan Kehormatan ICMI BJ Habibie, bahkan ia meminta ICMI melakukan "tindakan lebih" yakni mendorong lahirnya saudagar Muslim dengan mengamankan pasar dalam negeri melalui serangkaian kebijakan ke arah itu.

"Saya minta ICMI untuk mengamankan pasar dalam negeri guna mendorong perekonomian yang lebih baik di masa depan," katanya di Bogor (5/12).

Dalam pidato di hadapan peserta pembukaan muktamar yang dilakukan Wapres Boediono, mantan Presiden itu menyatakan penggerak utama industri manufaktur itu adalah pasar dalam negeri.

"Kalau semua masuk situ, semua bisa kerja, nggak perlu menganggur. Pasar dalam negeri diamankan untuk produk dalam negeri tanpa membedakan siapa pemiliknya," katanya.

Habibie berpendapat kebijakan yang membebaskan impor barang-barang manufaktur mengakibatkan hilangnya lapangan pekerjaan sehingga menambah pengangguran, karena itu diperlukan produk hukum untuk membantu meningkatkan daya saing manufaktur dan mengamankan pasar domestik untuk produk yang dihasilkan di dalam negeri.

"Ini bukan proteksionisme tetapi untuk menciptakan lapangan kerja dalam rangka memperbaiki neraca jam kerja. Konsep neraca pembayaran dan neraca perdagangan yang positif itu tidak cukup. Konsep itu mirip skenario dari VOC," katanya.

Harapan yang ada agaknya memerlukan skenario kebangkitan ICMI dari Muktamar V yang bersifat "hijrah" dari peran "bergantung" kekuasaan menjadi peran lokomotif kemajuan yang mendorong lahirnya saudagar Muslim dan sekaligus mendorong lahirnya kebijakan yang memihak itu.
(ANT/A024)

Oleh Edy M. Ya`kub
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010