Jakarta (ANTARA News) - Komodo punya kisah untuk mendefinisikan dirinya sendiri. Ia adalah pulau, satwa yang tertinggal sebagai satu-satunya warisan zaman "Jurrasic", bahasa, suku, sekaligus taman nasional.

Sebagai pulau ia punya cerita, sebagai satwa langka ia punya silsilah, dan sebagai bahasa ia punya cara. Sebagai suku ia punya legenda dan sebagai taman nasional ia punya falsafah.

Dengarkan Komodo punya cerita. Kecantikannya yang terbentang tepat di jantung garis Wallaceae menjadikannya kaya dengan perpaduan sifat alami Australia dan Asia pada flora dan faunanya. Dan semuanya langka alias "the one and only in the world".

Komodo, sebagai taman nasional membentang di area 1.817 ha laut dan darat menyimpan kecantikan khas Indonesia yang sulit digambarkan.

Dan inilah "Taman Jurassic" yang sebenarnya, tersaji indah dan terbiar alami di belahan timur Indonesia.

Komodo, burung endemik, pantai berwarna pink, gugusan koral reef yang berwarna-warni, kelelawar goa, berikut seni dan budaya suku-sukunya adalah keajaiban.

Ibarat mozaik warna yang terbingkai dalam satu frame, ini alam yang Tuhan berikan untuk Indonesia. Maka pantas jika ia ternobatkan sebagai keajaiban dunia yang sebenarnya sebab ia hanya terbingkai satu-satunya di sini, di ujung timur Indonesia, sebagai Taman Jurrasic yang asli peninggalan era pleistosen.

Tak perlu dikatakan, sebab dunia pun tahu keajaiban Komodo buktinya telah hampir 20 tahun Taman Nasional itu menjadi "world heritage site" yang diakui UNESCO.

Dan kini ia menjadi finalis keajaiban dunia versi alam yang meminta penilaian 1 miliar voter dari seluruh dunia melalui www.new7wonders.com.

"Komodo berhasil menyisihkan 420 finalis dari 220 negara untuk menjadi keajaiban dunia baru. Saat ini ia menjadi salah satu dari 28 finalis untuk nantinya menjadi 7 keajaiban dunia baru," kata Direktur Sarana Promosi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Esthy Reko Astuti.

Menurut dia, jika terpilih menjadi satu dari tujuh keajaiban dunia, maka dampak positif dari sisi citra pariwisata dan popularitas akan langsung dirasakan masyarakat di Komodo sekaligus Indonesia.

Siapa Untung
Kampanye yang "jor-joran" dalam dua tahun terakhir tentang Komodo menjadikan kawasan itu kian dikenal. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Manggarai Barat selaku pemangku kepentingan administratif mencatat terjadi kenaikan jumlah wisatawan yang berkunjung secara signifikan.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Manggarai Barat, Paulus Salasa, mengatakan, pada 2009 jumlah wisatawan ke Komodo mencapai 35.000 orang dengan 87 persen adalah turis asing.

"Tahun ini baru sampai September 2010 jumlahnya sudah 36.000 orang," katanya.

Pihaknya memprediksikan sampai tutup tahun jumlah wisatawan akan mencapai 40.000 orang dan diperkirakan sampai 50.000 wisatawan pada tahun depan.

Wakil Bupati Manggarai Barat, Maxi Gasa, menegaskan, masyarakat dari berbagai kelas mendulang untung dari popularitas Komodo.

"Ada yang alih profesi dari nelayan menjadi perajin souvenir, menjadi pemandu wisata, hingga berinvestasi di bisnis pariwisata termasuk menyulap kapal nelayan menjadi kapal wisata," katanya.

Bahkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diterima sampai Oktober 2010 dari TN Komodo telah mencapai Rp1,2 miliar.

Di sisi lain, investor berkantong tebal melirik Komodo dan berlomba mendirikan sarana pendukung pariwisata mulai dari hotel hingga restoran. Boleh jadi masyarakat lokal hanya kebagian menjadi satpam atau pramusaji.

Sementara inflasi lokal dan biaya hidup kian tinggi akibat banyaknya wisatawan yang datang. Inilah konsekuensi logis yang harus ditanggung masyarakat di Labuan Bajo, kini.

Namun semua berharap berkah Komodo tidak sekadar menetes di lingkungan masyarakat lokal melainkan mengucur memberikan perubahan signifikan.

Akankah hal itu bisa terjadi? Mengingat bila menilik lebih jauh Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) berada di tangan swasta yakni PT Putri Naga Komodo.

Kabarnya perusahaan itu telah menghentikan operasi sementara per-20 November 2010 akibat aturan baru pemerintah yang membuat wisatawan enggan membayar "conservation fee" yang mereka kenakan.

Toh izin IPPA masih di tangan mereka sampai puluhan tahun ke depan. Berhenti sementara untuk merancang strategi?

Simalakama
Bagi nelayan Suku Bajo, Ali Mudar M. Nur (50), yang tinggal di sekitar Pulau Rinca, laut adalah hidup.

Ayah 4 anak itu dalam sehari menangkap paling banyak 20 ikan kombong untuk diasinkan, diasapkan, kemudian dijual seekor Rp2.500.

"Sejak dulu seperti ini, tidak ada yang berubah meskipun orang datang dan pergi ke Komodo," katanya.

Ali Mudar tak tahu-menahu soal kampanye "Vote Komodo for New 7 Wonders of Nature", sebab baginya menyambung hidup menjadi ihwal yang jauh lebih penting.

Ia bersama Komodo di sekitarnya ibarat menjadi simalakama kini. Nasibnya tak beda jauh dengan kawasan Taman Nasional yang menanti upaya konservasi.

Pariwisata datang membawa banyak orang, Ali Mudar bersama lingkungannya dipaksa menelan dampak positif dan negatifnya sekaligus.

Boleh jadi pariwisata kini kemudian menjadi ragu mampu mengangkat kehidupan masyarakat lokal menjadi lebih baik.

Kepala Seksi pengelolaan TN Wilayah I Pulau Rinca Kementerian Kehutanan, Lukman Hidayat, mengakui bila pariwisata berkembang pesat di TN Komodo akan berpengaruh langsung pada ekosistem.

"Ini menjadi PR ketika mulai muncul pengaruh buruk misalnya makin melimpahnya limbah minyak dan sampah," katanya.

Satwa komodo pun akan makin jarang terlihat karena semakin banyak lalu lalang manusia.

Jadi, siapkah sebenarnya komodo menjelang lebih banyak orang datang?

Dengan segala keterbatasannya, Komodo memilih menjadi sebuah paket wisata minat khusus. Ia memilih pendatangnya sendiri, dan hanya bagi mereka yang siap dengan segala keterbatasan.

Akses transportasi udara yang terbatas, instalasi listrik yang belum sempurna, penginapan tanpa pilihan, fasilitas telekomunikasi tak optimal, hingga masih minimnya souvenir untuk dibawa pulang.

Oleh karenanya, menyebut Komodo pada akhirnya menjadi demikian kompleks. Sebab ia tidak sekadar suku kata dengan satu arti.

Komodo adalah kumpulan cerita yang tak pernah habis untuk diperdengarkan di segala zaman. Komodo bukan sekadar satwa Varanus komodoensis yang satu-satunya di dunia, tetapi juga budaya, masyarakat, bahasa, dan sebuah pulau yang kesepian serta menanti upaya konservasi berkelanjutan.

Siapkah mendulang untung dari sebuah keterbatasan?
(H016/T010)

Oleh Hanni Sofia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010