Pangkalpinang (ANTARA News) - Sebanyak enam  kapal isap produksi (KIP) milik mitra PT Timah di kawasan laut Kabupaten Bangka, berhenti beroperasi karena dapat merusak ekosistem laut dan mengurangi tangkapan nelayan.

Penghentian operasional enam unit kapal isap di kawasan laut Daniang, Rebo dan Matras tersebut, memenuhi tuntutan ratusan pengunjuk rasa di kantor PT Timah Kota Pangkalpinang, Rabu.

PT Timah memenuhi permintaan para pengunjuk rasa dengan menandatangani kesepakatan menghentikan operasional enam unit KIP di kawasan laut Daniang hingga Rebo, setelah sebelumnya melalui proses dialog cukup alot dengan perwakilan nelayan dan para mahasiswa.

Para pengunjuk rasa terdiri dari sejumlah elemen masyarakat yaitu kelompok nelayan, mahasiswa, Simpul Walhi, Club Diving, Tim Ekspedisi Terumbu Karang dan Pengelola kawasan penangkaran penyu.

Para pengunjuk rasa menilai KIP yang beroperasi di kawasan laut Bangka dapat merusak eko sistem laut seperti terumbu karang dan mengurangi hasil tangkapan nelayan karena air laut keruh dan bercampur lumpur.

Direktur PT Timah, Dwi Agus Setiawan, menyatakan, PT Timah siap menghentikan operasional enam KIP milik mitra PT Timah sampai dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kelayakan operasional yang dikaji dari berbagai aspek.

"Kami menghentikan aktivitas enam unit kapal isap produksi tersebut, ini keinginan masyarakat nelayan sampai dilakukan pengkajian lebih mendalam tentang kelayakan operasional," ujarnya.

Ia mengatakan, pengoperasional KIP tersebut sudah sesuai ketentuan dan memiliki izin dari pemerintah daerah.

"Kami tentu tidak akan beroperasional sepanjang tidak mendapatkan izin dari pemerintah daerah, terkait dengan kawasan wisata memang sampai sekarang belum ada RT/RW yang jelas," ujarnya.

Ia menjelaskan, enam unit KIP di perairan laut Rebo, Daniang dan Matras tersebut mampu memproduksi sebesar 180 ton per bulan atau produksi satu unit kapal mencapai 20 ton per bulan.

"Dengan penghentian operasional enam KIP ini jelas mengurangi produksi, namun persoalan ini akan dikaji lebih lanjut," ujarnya.

Retno Budi, koordinator unjukrasa, mengatakan, operasional KIP hanya menguntungkan sekelompok orang dan merugikan ratusan nelayan yang mengantungkan ekonomi dari hasil tangkapan ikan.

"Nelayan selalu mengeluh karena KIP hanya berjarak beberapa meter saja dari jaring nelayan, sehingga dapat mengurangi hasil tangkapan karena terumbu karang rusak dan air mudah keruh serta bercampur lumpur," ujarnya.

Sementara itu, Juandi, ketua kelompok nelayan Batu Bedaun, Sungailiat Kabupaten Bangka, mengaku, sejak beroperasionalnya KIP milik mitra PT Timah tersebut membuat hasil tangkapan mereka berkurang.

"Biasanya kami bisa mendapatkan ikan 20 kilogram sekali melaut, namun sekarang hasil tangkapan jauh berkurang dan kapal isap hanya berjarak beberapa meter dari jaring nelayan," ujarnya.

Ia mengatakan, lumpur akibat sedotan kapal isap merusak terumbu karang, air laut bercampur lumpur dan minyak sehingga mengurangi hasil tangkapan nelayan.

Ia menjelaskan, di Pantai Rebo terdapat sekitar 300 nelayan dengan penghasilan mencapai Rp50 juta per hari atau sekitar Rp18 miliar per tahun.

"Sangat memilukan, PT Timah sebagai perusahaan negara bukannya menghidupkan perekonomian nelayan di wilayah operasionalnya tetapi justeru menurunkan hasil tangkapan akibat aktivitas kapal isap," ujarnya.

Sementara itu, Budi Triyono, pengelola penangkaran penyu di Sungailiat yang juga anggota Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bangka, mengatakan, aktivatas kapal isap juga merusak perkembangbiakan penyu dan kawasan objek wisata di daerah itu.

"Kapal isap beroperasi tidak jauh dari kawasan objek wisata pantai, ini jelas merusak kawasan wisata," ujarnya.
(KR-HDI/B008/A038)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010