Baghdad (ANTARA News/Reuters) - Seorang pria Irak membunuh dan mengubur putrinya yang masih remaja setelah mengetahui ia berniat menjadi penyerang bom bunuh diri untuk Al-Qaeda, kata seorang pejabat keamanan, Jumat.

Pasukan keamanan Irak menyerbu rumah pria itu di Mandili, 100 kilometer sebelah timurlaut Baghdad, untuk mencari Shahla Najim al-Anbaky setelah mereka memperoleh informasi bahwa wanita itu memiliki hubungan dengan kelompok militan Sunni tersebut.

Mereka menangkap ayahnya, Najim Abd al-Anbaky, pada Kamis, dan ia mengaku telah membunuh putrinya dan mengubur mayatnya di dekat rumahnya, kata Mayor Ghalib al-Jubouri, juru bicara kepolisian di provinsi Diyala.

"Ia mengaku membunuhnya ketika mengetahui putrinya itu bekerja untuk Al-Qaeda dan ingin menjadi pembom bunuh diri," kata Jubouri.

Pria tersebut membawa pasukan keamanan ke tempat putrinya dikubur, tambah perwira polisi itu.

Dalam insiden terpisah, sejumlah orang yang diduga militan Al-Qaeda membom rumah satu keluarga Syiah di sebuah kota sebelah selatan Baghdad pada Jumat, menewaskan lima orang.

Insiden Jumat itu terjadi sehari setelah juru bicara kementerian pertahanan Irak Mayor Jendral Mohammed al-Askari mengumumkan penangkapan 93 tersangka, termasuk 60 orang yang diburu, dalam operasi penumpasan Al-Qaeda di provinsi Anbar, Irak barat.

Operasi itu dilakukan secara bersama oleh militer, polisi, pasukan suku pro-pemerintah dan anggota Sahwa atau milisi penentang Al-Qaeda, kata Askari.

Tujuan operasi itu adalah "mengamankan Baghdad dan tidak memberikan peluang kepada Al-Qaeda untuk melakukan aksi teroris, dengan menangkap anggota-anggotanya," dan untuk "menciptakan keamanan dan stabilitas di seluruh Irak," katanya, Kamis.

Sebanyak 44 jemaat Kristen, dua pendeta dan tujuh personel keamanan, tewas pada 31 Oktober ketika orang-orang bersenjata menyerang sebuah kathedral Baghdad dan tembak-menembak terjadi kemudian dengan pasukan yang menyerbu tempat itu.

Kelompok militan Negara Islam Irak (ISI), sebuah cabang Al-Qaeda, mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut dan memperingatkan bahwa orang Kristen di mana pun menjadi "sasaran sah".

Pemboman Jumat itu merupakan yang terakhir dari rangkaian kekerasan yang meningkat lagi di Irak dan terjadi beberapa bulan setelah penarikan pasukan AS.

Ratusan orang tewas dalam gelombang kekerasan terakhir di Irak, termasuk sejumlah besar polisi Irak, namun AS tetap melanjutkan penarikan pasukan dari negara itu.

Meski kekerasan tidak seperti pada 2006-2007 ketika konflik sektarian berkobar mengiringi kekerasan anti-AS, sekitar 300 orang tewas setiap bulan tahun ini, dan Juli merupakan tahun paling mematikan sejak Mei 2008.

Militer AS menyelesaikan penarikan pasukan secara besar-besaran pada akhir Agustus, yang diumumkannya sebagai akhir dari misi tempur di Irak, dan setelah penarikan itu jumlah prajurit AS di Irak menjadi sekitar 50.000.

Penarikan brigade tempur terakhir AS dipuji sebagai momen simbolis bagi keberadaan kontroversial AS di Irak, lebih dari tujuh tahun setelah invasi untuk mendongkel Saddam.

Namun, pasukan AS terus melakukan operasi gabungan dengan pasukan Irak dan gerilyawan Kurdi Peshmerga di provinsi-provinsi Diyala, Nineveh dan Kirkuk dengan pengaturan keamanan bersama di luar misi reguler militer AS di Irak.

Para pejabat AS dan Irak telah memperingatkan bahaya peningkatan serangan ketika negosiasi mengenai pembentukan pemerintah baru Irak tersendat-sendat, beberapa bulan setelah pemilihan umum parlemen di negara itu.

Jumlah warga sipil yang tewas dalam pemboman dan kekerasan lain pada Juli naik menjadi 396 dari 204 pada bulan sebelumnya, menurut data pemerintah Irak.

Sebanyak 284 orang -- 204 warga sipil, 50 polisi dan 30 prajurit -- tewas pada Juni, kata kementerian-kementerian kesehatan, pertahanan dan dalam negeri di Baghdad kepada AFP.

Menurut data pemerintah, 337 orang tewas dalam kekerasan pada Mei.

Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni 2009 telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.

Gerilyawan yang terkait dengan Al-Qaeda kini tampaknya menantang prajurit dan polisi Irak ketika AS mengurangi jumlah pasukan menjadi 50.000 prajurit pada 1 September 2010, dari sekitar 170.000 pada puncaknya tiga tahun lalu.

(M014/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010