Jakarta (ANTARA News) - Keberhasilan ganda putra Markis Kido/Hendra Setiawan meraih medali emas Asian Games di Guangzhou bulan lalu menyelamatkan muka bulu tangkis Indonesia.

Bulu tangkis yang selama bertahun-tahun menjadi andalan penyumbang emas dalam turnamen-turnamen besar, kali ini hanya mampu menyumbang empat medali, satu emas dan tiga perunggu, dua perunggu di antaranya diperoleh dari nomor beregu.

Saat itu, Kido/Hendra yang baru kembali dari turnamen di Eropa, diragukan dapat meraih prestasi terbaik karena persiapan mereka yang kurang akibat jadwal turnamen yang padat.

Tidak seperti pemain Pelatnas yang dibatasi turnamennya terutama menjelang Asian Games, pasangan juara Olimpiade itu terikat kontrak dengan sponsornya untuk mengikuti sejumlah kejuaraan termasuk Denmark dan Prancis Super Series yang hanya terpaut sepekan menjelang Asian Games.

Beruntung mereka mampu mempertahankan tradisi medali emas, sekaligus menambah catatan kemenangan mereka pada event besar menyusul keberhasilan di Kejuaraan Dunia dan Olimpiade.

Selain Asian Games, peristiwa besar bulu tangkis tahun ini adalah Piala Thomas dan Uber di Malaysia serta Kejuaraan Dunia di Paris.

Pada kejuaraan dunia beregu yang digelar dua tahun sekali, Piala Thomas dan Uber yang kali ini diselenggarakan di Putra Stadium, Bukit Jalil, Malaysia, Indonesia harus pulang tanpa trofi.

Meski demikian tim putra mampu memperbaiki hasil di kandang sendiri pada 2008 saat tersingkir di semifinal. Kali ini Taufik Hidayat dan kawan-kawan berhasil mencapai final meskipun akhirnya menyerah 0-3 pada juara bertahan China.

Sebaliknya tim putri yang dua tahun lalu secara mengejutkan melaju sampai ke final meskipun akhirnya kalah dari China, kali ini dijegal di semifinal oleh China yang akhirnya harus puas menjadi runner up setelah kalah 1-3 oleh Korea di final.

Pada Kejuaraan Dunia yang berlangsung di Paris, Prancis, 23-29 Agustus, Indonesia tidak meraih satu gelar pun.

Hasil terbaik diraih tunggal putra Taufik Hidayat yang berhasil mencapai final meskipun akhirnya kalah oleh pemain China Chen Jin.

Gelar juara dunia diraih Indonesia terakhir kali pada 2007 saat Markis Kido/Hendra Setiawan dan Nova Widianto/Liliyana Natsir meraih mahkota juara.

Pada ajang Super Series, prestasi pebulu tangkis Indonesia juga jauh dari memuaskan. Dari 12 turnamen Super Series, tercatat hanya dua gelar yang diraih pemain Indonesia, satu diperoleh Sony Dwi Kuncoro di Singapura Super Series pada Juni, dan satu lagi diraih Taufik Hidayat di Prancis Super Series pada awal November.

Meski demikian, ada beberapa yang bisa mencapai final meskipun tidak juara, seperti pasangan Nova Widianto/Liliyana Natsir di All England dan Singapura, kemudian Taufik di Indonesia, Denmark dan Hong Kong, serta Kido/Hendra di Denmark dan Hong Kong.

Krisis

Buruknya prestasi yang diraih pemain khususnya mereka yang berada di Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) tampaknya bukan satu-satunya masalah yang dihadapi PBSI.

Dari dalam kepengurusan PBSI sendiri, induk organisasi bulu tangkis Indonesia itu juga menghadapi masalah yang tidak ringan.

Perginya pelatih ganda putra Pelatnas, Sigit Pamungkas yang memilih untuk fokus menangani pasangan Markis Kido/Hendra Setiawan memunculkan masalah baru bagi PBSI.

Sigit memilih sepenuhnya menangani pasangan yang sudah meninggalkan Pelatnas setahun yang lalu itu, demi mengamankan peluang medali emas pada Olimpiade 2012 yang masih terbuka bagi juara Olimpiade 2008 itu.

Meski Sigit mengatakan tidak akan sepenuhnya meninggalkan pemain-pemain asuhannya di Cipayung, PBSI perlu segera menemukan penggantinya untuk menangani pemain Pelatnas agar persiapan menuju Malaysia Super Series dan Korea Super Series Premier pada Januari 2011 tidak terganggu.

Di tengah hangatnya kabar pengunduran diri Sigit, muncul kabar berikutnya yang tak kalah mengagetkan.

Dengan alasan banyaknya intervensi terhadap ruang lingkup kerjanya sebagai ketua bidang pembinaan prestasi PB PBSI, Lius Pongoh mengundurkan diri.

"Situasi dan kondisi tidak kondusif lagi, wewenang tidak jelas, banyak yang `gerecokin`. Padahal dalam setiap rapat sudah saya sampaikan, tetapi kayaknya susah," kata Lius saat menyampaikan pengunduran dirinya.

"Kerja kan bukan hanya dapat honor saja, lingkungan (yang kondusif) juga perlu," tambahnya.

Pengunduran diri Lius yang menempati posisi Kabid Binpres sejak Rudy Hartono melepaskan posisi tersebut pada akhir 2006, setidaknya akan mengganggu program pembinaan atlet.

Pentingnya keberadaan Lius diakui Wakil Ketua I PB PBSI Sabar Yudo yang menyatakan keinginannya untuk mempertahankan mantan pemain nasional era 80-an itu.

"Kami masih membutuhkan Lius. Dia sudah cocok berada di sana, kami akan berusaha mempertahankannya," ujar Sabar Yudo.

Terlepas dari masalah pengunduran diri Sigit dan Lius, keprihatinan akan buruknya prestasi terutama di sektor tunggal memunculkan wacana untuk memakai pelatih asing dengan harapan mampu mendongkrak prestasi.

Meskipun belum ada konfirmasi dari pihak PBSI, pelatih asal China Li Mao disebut-sebut akan segera tiba menangani pemain di Pelatnas, setelah kontraknya di Korea berakhir.

Situs berita bulu tangkis www.badzine.info menyebutkan, pada Asian Games bulan lalu Li Mao mengatakan bahwa Asian Games adalah tugas terakhirnya bersama tim Korea dan sangat mungkin akan melatih pemain Indonesia.

Jika benar pelatih asal China itu akan melatih di Cipayung, masalah baru akan muncul terkait soal kontrak pelatih yang selama ini tidak pernah dilakukan PBSI terhadap pelatih lokal.

"Jika bisa mengontrak pelatih asing, mengapa PBSI tidak bisa mengontrak pelatih lokal?" ujar Sigit Pamungkas yang selama ini mengusahakan agar PBSI memberlakukan sistem kontrak bagi pelatih seperti yang berlaku bagi pemain.

Ia memperkirakan kontrak pelatih asing akan menimbulkan kecemburuan bagi pelatih yang sudah lebih dulu berada di Pelatnas, yang pada akhirnya menimbulkan masalah baru.

Semua masalah itu, ditambah dengan tantangan yang semakin besar tahun depan -- adanya kejuaraan dunia beregu campuran Piala Sudirman, SEA Games dan dimulainya kualifikasi Olimpiade-- membuat pekerjaan rumah yang dihadapi PBSI semakin berat.

Mampukah PBSI mengatasinya? Semua masih harus dibuktikan. (*)

F005/T010

Oleh Fitri Supratiwi
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010