Jakarta (ANTARA News) - Majelis Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kembali mengukuhkan tiga ilmuwannya menjadi profesor riset, yakni
Dr. Tukirin Partomihardjo (Bidang Ekologi dan Evolusi), Dr. Ir. Yohanes Purwanto (Bidang Etnobotani), dan Dr. Johanis Haba (Bidang Antropologi).

Dr. Tukirin Partomihardjo menyampaikan orasi ilmiah dengan judul "Laboratorium Alam Kepulauan Krakatau: dari Model Suksesi ke Restorasi Ekosistem Hutan Tropik".

Dalam orasi tersebut, dia mengatakan, masih sedikit informasi dari hasil penelitian dan pengalaman lapangan dalam mencermati kawasan pulau-pulau kecil, terutama Krakatau selama tidak kurang dari 25 tahun.

"Hal ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kita tentang ekosistem pulau kecil serta suksesi hutan tropik secara utuh," ujarnya.

Dikatakannya, belajar dari rumitnya suksesi pembentukan ekosistem hutan tropik, maka diharapkan masyarakat lebih berhati-hati dan bijak dalam mengelola sisa kawasan hutan alam dan lingkungan pulau kecil beserta keanekaragaman hayatinya.

"Ini mengingat akhir-akhir ini Indonesia dikenal sebagai negara tropik terdepan dalam hal perusakan ekosistem hutan alam dan pemusnahan keanekaragaman hayati," ujarnya.

Sedangkan, Dr. Ir. Yohanes Purwanto memaparkan orasi ilmiah dengan judul "Nilai-Nilai Etnobotani untuk Pembangunan Berkelanjutan".

Dia mengungkapkan, penelitian etnobotani yang dikembangkan di Indonesia membuktikan bahwa pengetahuan masyarakat ternyata juga melalui kesahihan ilmu pengetahuan dan teknologi dan memiliki nilai manfaat dan keunggulan.

"Hasil studi etnobotani ini seterusnya menjadi bukti tertulis tentang kekayaan pengetahuan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia," jelasnya.

Ia menuturkan, studi etnobotani menyajikan bukti-bukti yang sahih dan ilmiah tentang kearifan budaya Indonesia dalam memaknai pentingnya Sumber Daya Alam Hayati dan lingkungan untuk dimanfaatkan secara berkesinambungan.

"Interaksi ini merupakan bagian dari perjuangan dan bertahan hidup di habitatnya," ujar Purwanto.

Sementara itu, Dr. Johanis Haba akan menyuguhkan orasi ilmiah dengan topik "Etnisitas, Identitas dan Nasionalisme di Wilayah Perbatasan Indonesia".

Dia menjelaskan tentang isu-isu penting wilayah perbatasan di Kalimantan Timur (Nunukan) dan Tawau (Malaysia Timur), Kalimantan Barat (Entikong, Jagoi Babang dan Sarawak), Malaysia Timur, Kabupaten Belu dan Negara Demokrasi Timor Leste.

"Hasil kajian ini menguatkan keyakinan saya tentang signifikansi isu etnisitas di Indonesia, terutama di wilayah perbatasan negara, yang masih dianggap sebagai kawasan pinggiran, kendati pun potensi sumberdaya alam dan sumber daya kultural melimpah di wilayah tersebut," ujarnya.

Menurut dia, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdiri atas lebih kurang 650 kelompok etnis memiliki keunikan bahasa, religi, adat istiadat, wilayah, dan kebudayaan.

Dipayungi semboyan Bhinneka Tunggal Ika, lanjutnya, isu-isu politik, etnis, dan kultural memperoleh tempat berteduh yang aman, dan segala keberagaman etnis dan kekayaan di dalamnya terlindungi.

"Tetapi, justru di situlah kekeliruan berpikir yang hanya menilai NKRI dari satu sudut pandang politis, tanpa secara komprehensif mengaitkannya dengan isu-isu etnisitas dan identitas," katanya.

Sedari awal sejarah NKRI, Bhinneka Tunggal Ika diupayakan sebagai sebuah strategi politis, untuk menyatukan heterogenitas kelompok etnis di Indonesia, pungkasnya.
(T.D009/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010