Banda Aceh (ANTARA News) - Becak motor pada pagi itu membawa dua penumpang melaju santai di ruas jalan menuju tempat pendaratan ikan Lampulo, Kota Banda Aceh.

Di sisi kiri jalan, puluhan unit kapal ikan bersandar di dermaga kayu pinggir sungai (Krueng) Aceh yang airnya berwarna kecoklat-coklatan.

Beberapa nelayan, bertelanjang dada tampak asyik merajut jaring di atas kapal mereka masing-masing, tidak ada aktivitas kapal berlayar di Krueng Aceh pada Minggu, 26 Desember 2010.

"Pak, kenapa tidak ada boat berlayar pagi ini, lazimnya aktivitas nelayan yang pulang atau pergi melaut untuk menangkap ikan pada pagi hari seperti di daerah lain," tanya penumpang becak motor kepada pengemudi itu.

Kemudian, pengemudi becak motor itu menjelaskan kepada dua penumpang yang mengaku dari Jakarta, dan tujuannya ke Banda Aceh untuk mengisi liburan akhir tahun.

"Hari ini, para nelayan seluruh Aceh tidak melaut untuk mengenang kembali peristiwa tsunami enam tahun silam," kata Usman, pengemudi becak mesin menjelaskan kepada dua wisatawan nusantara itu.

Selanjutnya, mata wisatawan itu tertuju pada sebuah rumah yang di atasnya terdapat seunit perahu tidak beda dengan boat-boat yang bersandar di TPI Lampulo tersebut.

"Kapal nelayan yang ada di atas rumah warga itu merupakan salah satu bukti tsunami, dan orang-orang menyebutnya sebagai `Perahu Nuh` yang terhempas gelombang laut enam tahun silam," kata Usman.

Saksi enam tahun lalu, menyebutkan 59 orang warga yang berada di atas kapal ikan nelayan yang terhempas ke daratan terselamatkan saat tsunami, 26 Desember 2004.

Dibukukan
Kisah para korban tsunami itu tertuang dalam sebuah buku saku yang ditulis oleh 10 dari 59 orang yang menjadi penumpang perahu nelayan tersebut, enam tahun silam. Buku saku itu berjudul "Mereka Bersaksi".

Abasiah, salah seorang korban selamat mengisahkan, saat tsunami menjangkau permukimannya di Lampulo, dengan ketinggian lebih satu meter, maka tiba-tiba perahu nelayan itu muncul di hadapannya.

"Waktu itu, kami sekeluarga yang masih berada di dalam rumah langsung ke luar, dan tanpa pikir panjang memanjat kapal yang sudah berada di hadapan kami," katanya.

Bahkan, karena air laut yang mencapai daratan terus meninggi, maka sebagian warga keluar melalui atas rumah untuk mencapai kapal nelayan itu. "Itu kapal bersejarah, dan telah banyak warga terselamatkan dari tsunami," kata Abasiah.

Abasiah, warga Lampulo yang rumahnya berdekatan dengan TPI itu menceritakan awal "perahu Nuh" tersebut bertengger di atas atap rumah permanen miliknya.

"Awalnya saya mengira perahu itu sengaja didatangkan untuk menyelamatkan orang-orang dari amukan air laut menerjang permukiman penduduk," kata dia mengisahkan.

Di dalam rumah permanen yang kini masih bersemayam "perahu Nuh" itu, Abasiah tidak sendiri ketika tsunami sebab ada anak-anaknya yaitu Agin, Ghazi, Thoriq (3), Zalfa (4) dan seorang putri angkatnya yakni Yanti.

"Dari jendela lantai atas, saya melihat banyak boat ikan yang hanyut di depan rumah dengan kecepatan tinggi, seperti mobil-mobilan yang ditarik mundur lalu dilepaskan," ujar dia mengibaratkan.

Abasiah mengisahkan saat itu, mereka yang berada di lantai dua bangunan rumahnya, terus berdoa dan berzikir seraya saling meminta maaf karena "akan berakhirnya sebuah kehidupan".

"Waktu itu tidak ada tangis, tapi wajah-wajah ketakutan sambil terus berdoa dan berzikir berharap hanya ada pertolongan dari Allah, jika memang kami masih diberi kesempatan untuk hidup," katanya.

Berzikir
Setelah semuanya berada di atas "perahu Nuh" itu, Abasiah dan orang-orang lainnya terus mengaji, berdoa, berzikir kepada Allah, selain menyaksikan kehancuran akibat diamuk tsunami, 26 Desember 2004.

"Kami melihat kapal cepat yang membawa penumpang Pulau Sabang-Banda Aceh tidak bisa berlabuh, dan helikopter terbang di atas," katanya.

Saksi peristiwa tsunami lainnya, Samsuddin Mahmud, mengaku dirinya dan beberapa orang tetangga merupakan rombongan pertama yang naik ke atas "perahu Nuh" itu.

"Awalnya kami mengira bahwa perahu ini sengaja didatangkan oleh `malaikat` untuk menyelamatkan orang-orang," kisah korban selamat itu.

Sebelum menaiki perahu itu, Samsuddin yang sudah berada di lantai dua rumah tetangganya mengaku ketinggian di lantai tersebut lebih satu meter, dan bewarna hitam pekat.

"Ketika saya sudah berada di lantai dua rumah milik tetangga, air sudah sebahu. Kemudian, tiba-tiba terlihat perahu itu dan kami langsung berebut menaikinya," kata dia.

Kisah korban selamat lainnya, Erlina Mariana Rosada Sari mengisahkan sewaktu dalam boat tersebut, sempat gelombang laut silih berganti menerjang daratan dan dalam waktu bersamaan guncangan gempa masih terasa.

"Orang-orang di dalam perahu ini terus mengumandangkan azan dan berdoa. Hanya doa dan zikir yang bisa kami lakukan saat tsunami itu," kata dia.

Erlina menyatakan dari atas perahu itu menyaksikan rumahnya luluh-lantak dan daratan tanpa bekas karena sudah dipenuhi air keruh, ibarat hamparan lautan yang luas.

"Perahu Nuh" yang tidak lagi berlayar dan tetap tegak bersandar di atas atap rumah Abasiah di gampong Lampulo itu tidak bertuan, dan kini telah dijadikan sebagai salah satu aset wisata peninggalan tsunami.

"Perahu itu menjadi salah satu objek wisata yang memiliki makna sebagai peringatan Allah, karena dengan melihat ini orang bisa berpikir tentang kekuasaan Sang Maha Pencipta yang tiada tara," kata Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza Sa`aduddin Djamal.

"Rumah boat" atau "Perahu Nuh" yang berjarak sekitar dua kilometer dari pusat Kota Banda Aceh itu saat ini menjadi objek wisata yang menarik bagi wisatawan, tidak hanya warga nusantara tapi juga turis asing.

Selain menyaksikan bukti fisik, para wisatawan juga bisa mendengarkan kisah-kisah unik dan ajaib dari peristiwa tsunami enam tahun silam dari korban selamat di "Rumoh Boat" atau "Perahu Nuh" itu.

Keusyik (Kades) Gampong Lampulo, Alta Zaini mengatakan, warganya sudah siap menerima wisatawan yang akan berkunjung ke situs tsunami tersebut.

"Perahu Nuh" yang kini bersemayam di lantai dua rumah Abasiah itu memiliki sekitar 18 meter, berkonstruksi kayu dan kini telah dibangun tangga untuk mencapai bagian dalam boat tersebut.
(ANT/H-KWR/A038)

Oleh Salman dan Azhari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010