Surabaya (ANTARA News) - Jawa Timur (Jatim) tergolong provinsi yang nisbi aman selama tahun 2010, namun dinamika masyarakatnya yang sangat terbuka dan majemuk agaknya cukup tinggi.

Dinamika masyarakat Jatim yang sangat tinggi itulah yang diprediksi akan menjadi sumber potensi konflik yang membayangi Jatim di sepanjang tahun 2011.

Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur, Irjen Pol Badrodin Haiti, memprediksi empat potensi konflik di Jatim pada tahun 2011.

"Potensi konflik di Jatim pada tahun 2011 akan berkisar pada masalah politik, ekonomi, sengketa tanah, dan agama," katanya dalam Analisa dan Evaluasi (Anev) Kamtibmas 2010 di Markas Polda Jatim pada 28 Desember 2010.

Ia mengatakan potensi konflik politik antara lain berkaitan dengan Pilkada Tuban pada Maret 2011, meski pilkada tahun 2011 di Jatim hanya ada dua kali, bila dibandingkan dengan tahun 2010 yang ada 18 pilkada.

"Potensi konflik politik di Tuban itu diperkirakan akan tinggi, mengingat terjadinya kerusuhan dalam pilkada sebelumnya," katanya, didampingi Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Pudji Astuti.

Untuk konflik ekonomi, katanya, antara lain dampak pengurangan BBM subsidi untuk mobil pelat hitam terkait gejolak masyarakat dan kemungkinan penyimpangan pengurangan BBM subsidi itu.

"Potensi konflik ekonomi juga akan dipicu UMK di Gresik dan Surabaya yang berbeda, lalu perubahan cuaca yang tidak menentu akan menyebabkan petani gagal panen dan kemiskinan berpotensi naik, sehingga mungkin akan rawan," katanya.

Mengenai potensi konflik dalam sengketa tanah, Kapolda Jatim yang juga mantan Kepala Divisi Pembinaan Hukum Mabes Polri itu menegaskan bahwa sengketa tanah yang berpotensi konflik itu terjadi antara masyarakat dan perusahaan.

"Itu mungkin terjadi di Kediri, Banyuwangi, Jember, Sidoarjo, dan Pasuruan, bahkan konflik tanah di Alastlogo, Pasuruan hingga kini belum ditangani hingga tuntas," katanya.

Kasus sengketa tanah yang juga berpotensi konflik adalah menyangkut ganti rugi tanah yang terendam luapan lumpur panas di kawasan eksplorasi PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo.

"Kasus tanah di lumpur Lapindo itu ibarat bara api yang siap membakar, seperti lima warga yang belum dibayar dan melapor kepada Presiden, tentu akan kami selidiki ada-tidaknya unsur pidana di dalamnya," katanya.

Tentang potensi konflik agama, ia mengatakan hal itu terlihat dari banyaknya aliran baru, adanya kelompok radikal, dan banyaknya pendirian rumah ibadah.

"Potensi terorisme juga ada karena ada DPO teroris asal Jatim yang belum tertangkap, atau narapidana teroris yang sudah dilepas dan masih ada kontak dengan jaringannya," katanya.

Dialog

Potensi konflik yang diprediksi Kapolda Jatim itu justru dinilai aktivis/pegiat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya akan ada atau terjadi terus menerus dari tahun ke tahun.

"Itu karena negara belum berfungsi, sebab belum ada kebijakan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang memihak ke rakyat," kata Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya Saiful Arif di Surabaya (29/12/2010).

Didampingi rekannya Ridjal Alifie SH, M Faiq Assidiqi SH, dan Ansorul Huda SH, ia mengatakan regulasi yang dirancang eksekutif dan legislatif selama ini belum mementingkan rakyat, baik secara politis maupun ekonomis.

"Regulasi yang dirancang selama ini semata-mata untuk kepentingan eksekutif dan legislatif, bukan untuk rakyat, bahkan kebijakan yang terkait untuk rakyat itu hampir tidak ada," katanya.

Apalagi, katanya, 70 persen lebih kebijakan yang ada selama ini berasal dari inisiatif eksekutif dan bukan inisiatif legislatif, sehingga kebijakan yang ada memihak eksekutif, bukan rakyat.

"Kalau eksekutif dan legislatif tidak memihak rakyat melalui kebijakan yang dirancang, maka hal itu berarti negara belum berfungsi bagi rakyat," katanya.

Namun, katanya, kenyataan itu juga tidak diprotes rakyat, karena rakyat masih disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi, sehingga mereka tidak mengetahui atau menyadari hak dan kewajibannya.

"Misalnya, ketika pemerintah mematok anggaran pendidikan 20 persen, maka pemerintah daerah yang tidak melaksanakan tidak diprotes oleh legislatif dan rakyat sendiri," katanya.

Satu-satunya yang mungkin terlihat adalah fungsi kontrol dari legislatif, tapi fungsi kontrol itu dijalankan DPR/DPRD juga bukan untuk rakyat, melainkan untuk anggaran atau `fee` dari hasil kunjungan kerja atau kritik yang disuarakan.

"Yudikatif juga masih berwajah buram, karena peradilan belum memihak rakyat. Tahun 2010 justru banyak putusan hakim diperdebatkan masyarakat, hakim sering menunda agenda sidang tanpa alasan jelas, hakim tidak menguasai perkara, dan hakim bertemu kuasa hukum untuk main golf atau tenis," katanya.

Terkait dengan potensi konflik agama, Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto dalam rilis yang diterima ANTARA menegaskan bahwa konflik agama yang ada itu sesungguhnya bukan bersumber Islam.

"Bila ditilik secara seksama, sesungguhnya konflik itu timbul bukan karena umat Islam seperti yang banyak dituduhkan. Misalnya, melawan Ahmadiyah itu terjadi karena mereka keras kepala dan tidak mengindahkan SKB Tiga Menteri," katanya.

Bahkan, katanya, konflik melawan kelompok Kristen juga bukan konflik agama, melainkan karena mereka tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan menyangkut pendirian tempat ibadah.

Agaknya, empat potensi konflik yakni politik, ekonomi, tanah, dan agama akan berkembang ke arah yang positif bila ada kebijakan yang memihak rakyat dan ada dialog antarumat beragama, apalagi masyarakat Jatim cukup dinamis, toleran, dan terbuka.
(T.E011/H-KWR/P003)

Oleh Edy M. Ya`kub
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011